Senin, 15 November 2010

Nasehat Yang Membawa Petaka


 Sayyid Ni'matullah al-Jazairi rahimahullah berkata, bahwa  seorang yang sangat dipercayainya menuturkan sebuah cerita kepadanya: Ada seorang laki-laki di Kota Isfahan yang memiliki seorang istri.

Pada suatu hari, dia terlibat pertengkaran sengit dengan istrinya, sehingga –-karena tidak dapat menguasai amarahnya yang meluap-luap, dan membabi-buta—dia memukulnya dengan tongkat keras-keras. Akan tetapi, akibatnya sungguh tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Istrinya langsung roboh dan tewas seketika, padahal dia sama sekali tidak bermaksud membunuhnya. Maka, dia pun khawatir terhadap keluarga istrinya, dan kebingungan tidak tahu harus bagaimana mencari jalan keluarnya.

Kemudian dia mendatangi salah seorang sahabat karibnya, dan meminta pendapat untuk mengatasi kesulitan tersebut. Sahabat karibnya berkata kepadanya, "Carilah seorang pemuda tampan, ajaklah masuk ke dalam rumahmu.

Lalu bunuhlah dia! Setelah itu, letakkanlah mayat pemuda itu di samping mayat istrimu. Bila kemudian keluarga istrimu menanyakan perihal kematian istrimu, katakanlah, "Aku melihat pemuda ini tidur bersamanya. Maka, aku bunuh mereka berdua."

Dia menyetujui pendapat sahabatnya itu. Kebetulan, ketika dia sedang duduk di depan pintu rumahnya, melihat seorang pemuda tampan melewati jalan depan rumahnya. Maka, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. 

Dia langsung memanggil pemuda itu dan diperlakukannya dengan baik. Kemudian, dia mengajak pemuda itu masuk ke rumahnya, serta menyuguhkan kepadanya makanan yang lezat. Ketika pemuda itu lengah, dia  langsung mengayunkan pedangnya tepat di leher pemuda tampan itu, sehingga terbunuhlah pemuda tersebut seketika itu juga.

Tak lama kemudian, keluarga istrinya datang mengunjunginya. Suami tersebut menceritakan kepada keluarga istrinya, perihal pengkhianatan (perselingkuhan) yang telah dilakukan istrinya. Mendengar penjelasan yang disampaikannya itu, mereka –keluarga istrinya—berkata; "Sungguh, tepat sekali apa yang telah engkau lakukan."

Secara kebetulan juga, dalam waktu yang bersamaan, sahabat karib orang itu –yang telah memberikan saran untuk membunuh pemuda tampan mendatangi untuk suatu keperluan. Dia mempunyai anak laki-laki yang masih muda lagi tampan, dan dia merasa kehilangan anaknya tepat pada hari dia menyarankan pembunuhan itu.

Dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau telah melaksanakan saran yang telah aku berikan kepadamu?" Orang itu menjawab, ''Ya, saranmu telah aku laksanakan dengan sempurna.'' Lalu dia berkata,'' Tolong perlihatkanlah kepadaku pemuda yang telah engkau bunuh itu." Maka, dia membawanya masuk  ke dalam rumahnya.

Alangkah terkejutnya, begitu dia melihat mayat pemuda tampan itu,  ternyata anaknya yang hilang. Dia kemudian mengambil tanah dan meraupkan ke kepalanya sendiri, sebagai tanda penyesalan dan kesedihan yang mendalam.

Benarlah apa yang penah disabdakan Rasulullah SAW: "Barangsiapa menggali sumur untuk mencelakakan saudaranya sesama mukmin, maka Allah menjadikan dia sendiri yang akan terperosok ke dalamnya."


Mengabaikan Nasihat Ibu


Diceritakan ada seorang abid terkenal dengan sifatnya yang mulia. Pada suatu hari ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah. Namun, kepergiannya tidak mendapat restu ibunya, serta tidak direlakan. Tapi, ia tetap nekat pergi tanpa mempedulikan larangan ibunya.

Dari belakang ibunya mengikuti sambil berdoa: "Wahai Tuhanku, anakku telah membakarku dengan api perpisahan. Maka timpakanlah kepadanya suatu siksaan!" Sang ibu merendahkan diri dan bermunajat kepada Allah SWT.

Ketika si abid tersebut tiba di sebuah kota di waktu malam, maka ia masuk ke dalam masjid untuk melakukan ibadah. Bertepatan pada malam itu, ada pencuri yang masuk ke sebuah rumah di dusun tersebut. Pemilik rumah mengetahui bahwa pencuri berada di dalam rumahnya yang bermaksud mengambil barang-barang. Kontan saja, pemilik rumah berteriak, dan kemudian orang kampung mengejarnya, sehingga pencuri lari dan menuju ke arah masjid.

Sewaktu mereka sudah sampai di muka masjid, pencuri menghilang. Lalu orang kampung pun berteriak: "Pencurinya di dalam masjid!" Kemudian mereka masuk ke dalam masjid, dan melihat si Abid tadi yang sedang berdiri mengerjakan shalat. Pada saat itu juga mereka menangkap si Abid dan menggiringnya untuk diserahkan kepada yang petugas pemerintah.

Lantas penguasa kota memerintahkan agar kedua tangan si Abid dipotong, termasuk kedua kakinya, begitu juga kedua matanya harus dikeluarkan. Petugas negara itu kemudian melaksanakan perintah, dan segera memotong kedua tangan dan kedua kaki si Abid, serta mengeluarkan kedua buah matanya seraya berseru di pasar: "Inilah balasan orang yang mencuri…..!"

Si Abid berkata: "Janganlah kalian mengatakan seperti itu, tapi katakanlah: "Ini adalah balasan orang yang bermaksud thawaf ke Makkah, tanpa restu ibunya…..!"

Ketika mereka mengetahui bahwa ia seorang yang alim dan akan menunaikan ibadah ke Makkah, maka mereka sama menangis sedih penuh penyesalan, lalu mengembalikan si Abid kepada ibunya, serta diletakkan pada pintu tempat ibadah.

Ternyata di dalam sudah ada ibunya, yang sedang berdoa: "Wahai Tuhanku, sekiranya Engkau telah memberikan cobaan kepada anakku dengan satu ujian musibah, maka kembalikanlah ia kepadaku sehingga aku bisa melihatnya!"

Tiba-tiba si ibu mendengar suara dari luar rumah. "Saya adalah musafir yang lapar, berilah aku makan!" kata si Abid.

"Datanglah engkau ke pintu!" jawab si ibu.
"Saya tidak punya kaki untuk berjalan kepada engkau,'' kata si Abid.
''Ulurkan tanganmu!" kata ibunya. "Saya tidak punya tangan,'' jawab si Abid.

"Kalau aku memberi makan kepadamu, maka terjadilah perbuatan haram antara saya denganmu,'' sahut ibunya. "Jangan takut, karena saya sudah tidak mempunyai mata."

Maka sang ibu mengambil sopotong roti dan air yang dingin dari kendi, lalu diberikan kepadanya. Ketika si Abid menyadari bahwa perempuan itu ibunya, maka ia meletakkan wajahnya pada telapak kaki ibunya sambil berkata: "Saya adalah anak ibu yang durhaka…!"

Seketika itu ibunya amat terkejut, setelah mengetahui kondisi anaknya yang sudah tidak mempunyai tangan dan kaki, serta kedua matanya juga tidak ada, si ibu menangis seraya berkata: 

"Wahai Tuhanku, kalau keadaan kami seperti ini, maka cabutlah ruhku dan ruh anakku, sehingga orang-orang tidak mengetahui aib yang kami derita!" Belum sampai sempurna perkataan perempuan itu, maka ruh keduanya pun melayang.


Kuda dan keteguhan pendirian


Kuda Musa makin lama makin kurus dan sakit. Istri Musa sudah cerewet sekali menyuruh agar segera dijual saja. Tapi Musa sendiri begitu sayang kepada kuda yang telah banyak jasanya itu. Namun akhirnya luluh juga hatinya setelah kuda itu kelihatan sangat lemah dan sakit-sakitan.

Pada suatu pagi, berangkatlah suami istri itu menuju pasar. Mereka menuntun kudanya bergantian. Lantaran jarak dari rumahnya ke pasar di Kota Basrah cukup jauh, Musa yang kurus, sudah terengah-engah napasnya. Bahkan terdengar bunyi ‘ngik-ngik’ dari hidungnya. Sementara istrinya,  karena badannya yang sangat tambun hampir saja jatuh pingsan karena penat.

Dalam keadaan seperti itu, beberapa orang kampung lewat dan memandangi mereka dengan kasihan. Salah seorang dari mereka bertanya. ‘’Mau dibawa ke mana kuda itu?”. Musa menjawab. ‘’Ke Basrah.”

‘’Itu kuda hidup atau kuda mati?’’ Mendengar itu, Musa heran. ‘’Tidak kalian lihat kuda ini masih bisa jalan?’’. ‘’Kalau kuda hidup mengapa dituntun? Mestinya kan dinaiki saja bergantian, biar tidak capek!’’
Musa dan istrinya berhenti, lalu berpikir. ‘’Betul juga,’’ ujarnya. Maka Musa menyuruh istrinya menaiki kuda itu, dia yang menuntun dari depan.

Baru beberapa meter mereka berjalan, muncul lagi tiga orang kampung yang datang dari kebun. Mereka geleng-geleng kepala sambil bergumam. “Huh, dasar istri tak tau diri. Mana baktinya kepada suami yang kurus begitu? Dia yang gemuk macam genderang Persi, enak-enak saja duduk. Sedangkan suaminya yang kurus kering dibiarkan mati kepenatan. Durhaka.’’

Mendengar omongan orang-orang kampung, istri Musa segera turun. ‘’Bang, engkau saja yang naik, biar aku saja yang jalan,’’ kata istrinya. Musa kegirangan. Memang dia sudah kelelahan. Dengan cepat dinaikinya kuda itu dan giliran si istri menuntun dari depan.

Belum sempat hilang penatnya, lewat lagi beberapa orang kampung. Laki-laki yang tua berkata. ‘’Huh, suami keparat. Istrinya yang jalannya mengengsot seperti siput laut disuruh menuntun kuda. Sementara dia ongkang-ongkang kaki di atasnya. Barangkali di rumahnya jadi raja, raja terhadap istrinya.’’

Musa sambil menunduk, mendengarkan ocehan orang-orang itu. Begitu mereka sudah berlalu, dia turun dan kebingungan. ‘’Kenapa serba salah? Jadi harus bagaimana? Ah, ya, kita naiki saja berdua,’’ ujar Musa pada istrinya. Dengan gembira suami-istri itu naik bersama-sama ke atas punggung kuda. ‘’Rasanya aman sudah sekarang,’’ ujarnya.

Namun tiba-tiba mereka terkejut mendengar bentakan hebat. ‘’Hai, manusia kejam! Itu kuda kan sudah hampir mampus. Jalan sendiri saja tidak kuat. Dia, kan juga makhluk Allah. Kalian ini manusia, punya akal dan perasaan. Di mana kau taruh ibamu, manusia kejam?’’

Musa melihat, yang membentak itu adalah seorang pembesar negeri. Maka cepat-cepat mereka turun. Dipandanginya kuda itu. Betul juga kalau hampir mati. Tapi bagaimana caranya membawa ke pasar Basrah? Dituntun salah, dinaiki sendiri dimarahi orang, istrinya yang naik kurang ajar, dinaiki berdua jadi kejam. Lantas bagaimana?

Memandangi suaminya sedang kebingungan, istri Musa lalu memberi saran. ‘’Kita gotong saja Bang.’’ Ah. Betul,’’ seru Musa kegirangan. ‘’Engkau memang pintar, Halimah,’’ kata Musa.

Maka kuda itu pun akhirnya diikat pada sebatang kayu, dan digotong ke pasar Basrah. Menjelang masuk pintu kota, lewat beberapa orang pedagang. Dengan bengong mereka menyaksikan suami-istri menggotong seekor kuda. ‘’Kelihatannya kuda itu masih cukup sehat,’’ ujar salah seorang pedagang kepada temannya. Kemudian orang itu menyapa Musa. ‘’Kuda itu sudah lumpuh?’’ Mendengar yang bertanya itu pedagang, Musa buru-buru menyangkal. '‘Tidak, kuda ini masih kuat lari.'’

‘’Masih kuat lari? Aneh. Kuda masih kuat lari digotong-gotong seperti itu. Dasar dunia sudah terbalik. Mengapa tidak dituntun saja, sehingga bapak dan ibu tidak capek seperti itu? Huh dasar kurang waras.’’

Habis kesabaran Musa dan istrinya. Selalu salah saja yang ditemuinya sepanjang jalan. Maka dilemparkannya kuda itu ke pinggir jalan, dan mereka pulang dengan sia-sia. Itulah keputusan yang diambilnya, keputusan paling bodoh akibat tidak percaya kepada pendiriannya sendiri.

Karena itu, kalau mempunyai suatu niat, perbuatlah dengan segera, asalkan tidak bertentangan dengan syariat agama. Jangan terombang-ambing karena omongan orang. Kerjakan sampai selesai, sampai tercapai cita-cita.


Doa Sapu Jagat...


Rasanya tidak ada orang yang lebih bodoh ketimbang lelaki separuh baya yang dipanggil si Dungu ini. Sebab dia dikenal bebal, namun tidak menyadari kebebalannya. Dia tidak mau menambah ilmu dengan mengaji untuk mengurangi kebodohannya.

Saking sok taatnya kepada imam dalam salat jamaah, dia ikut menggaruk-garuk kepalanya tatkala kepala imam gatal dan sang imam menggaruk-garuknya. Malah tiap kali imam berdeham karena suaranya serak, si Dungu juga ikut-ikutan berdeham.

Suatu ketika pada salat Jumat di masjid kampungnya, seorang khatib berjanggut lebat dan sudah berwarna putih seluruhnya, menaiki mimbar. Khutbahnya amat menarik dan membuat para jamaah sangat terharu. Bahkan si Dungu sempat menangis terguguk-guguk.

Khatib berjenggot itu melihat betul keadaan di Dungu yang tidak henti-hentinya mengucurkan air mata. Khatib itu amat bangga, sekaligus iba. Maka sesudah selesai salat Jumat, Khatib berjanggut putih itu sengaja mendatangi si Dungu, lantas bertanya, "Apakah khutbah saya cukup menarik?" tanya sang Khatib. "Oh, menarik sekali," jawab si Dungu, sungguh meyakinkan betul sikap sok takwanya.

"Pendapat Bapak, bagian manakah yang paling bagus hingga Bapak menangis tersedu-sedu?”  Si Dungu menjawab, "Janggut putih Tuan yang mengharukan saya," jawabnya enteng.
Mendengar jawaban itu, Khatib keheranan, lantas bertanya lagi, "Apa maksud Bapak?"

"Melihat janggut putih Tuan, saya teringat seekor kambing saya yang dicuri beberapa waktu lalu. Janggut Tuan persis betul dengan janggut kambing saya yang hilang itu."

Tentu saja, Tuan Khatib amat mendongkol. Namun, dia tidak dapat berbuat apa-apa karena si Dungu langsung menangis lagi dengan sedihnya.

Menariknya, walaupun dungu, hidupnya berkecukupam dan royal. Istrinya  dua, satunya masih muda belia. Namanya Hasanah. Sedang istri pertamanya gembrot dan pesek, namanya Jamilah, yang artinya cantik jelita.
Tahun lalu, si Dungu berangkat haji bersama kedua istrinya. Dia bertanya kepada seorang ustad, "Apa yang harus saya baca, ketika melakukan haji? Saya tidak bisa menghafal yang susah-susah. Ustad itu menjawab, "Jangan bingung. Baca saja doa sapu jagat," ujarnya singkat.

Itulah yang kemudian dikerjakan oleh si Dungu pada waktu menjalankan thawaf dan sa’i. Bahkan saking "khusuk”-nya, sampai-sampai sepanjang thawaf di Pasar Seng untuk berbelanja pun dia selalu membaca doa sapu jagat yang bunyinya, "Rabbana atina fid dunya hasanah, wafil akhirati hasanah, waqina ‘azabannar."

Akan tetapi, lama-kelamaan istri tuanya yang bernama Jamilah tidak kuat lagi menahan kemarahannya. Sambil mencubit keras-keras pinggang suaminya, dia menghardik, "Kamu memang tak tahu di untung. Aku ini binimu, yang sungsang sumbal membantumu mencari rezeki sampai memperoleh kekayaan yang cukup banyak. 

Tapi, dari tadi yang kamu sebut-sebut dalam doamu hanya Hasanah melulu, istri mudamu yang cantik itu. Awas, kalau aku tidak kamu panggil-panggil juga, pulang ke rumah nanti, semua harta kekayaannku akan kuambil, dan ceraikan aku saat itu juga," ancam Jamilah.

Si Dungu merah padam. Dia merasa bersalah. Jamilah, istri tuanya memang  sebenarnya yang kaya-raya. Dia hanya menumpang belaka. Maka dengan serta-merta minta maaf. "Baiklah, mulai detik ini doaku akan kuubah."

Akibatnya, seluruh jamaah haji terbelalak keheranan mendengar doa si Dungu yang dibaca berulang-ulang itu. Karena doa itu berbunyi, "Rabbana atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati jamilah, waqina azabannar."

Barangkali kisah ini hanya desas-desus semata-mata, mengingat si Dungu terkenal keras kepala, tidak mau bergabung dalam kegiatan kemasyarakatan. Apalagi menghadiri ceramah agama atau pun pengajian. (dikutip dari 30 Kisah Teladan, karangan KH Abdurrahman Arroisi)


Jumat, 12 November 2010

Lihainya Syaitan Membisikkan Kebaikan

Zaman dahulu ada seorang ahli ibadah (abid) dari Bani Israil yang dikatakan paling shalih di zamannya. la mempunyai tiga kawan bersaudara dengan seorang adik yang masih gadis, satu-satunya saudara perempuan mereka.

Pada satu ketika, ketiga kawannya itu hendak pergi mengadakan perjalanan untuk berjihad di jalan Allah. Namun mereka sulit mendapati orang yang dapat dititipi saudara perempuannya, sekaligus dapat dipercaya untuk menjaganya. Akhirnya mereka sepakat, adiknya akan dititipkan pada si abid dan mempercayakan perihal saudara perempuan mereka sepenuhnya kepada ahli ibadah itu.

Ketiganya pun mendatangi si abid dan meminta kepadanya agar berkenan untuk dititipi. Mereka mengharapkan agar saudara perempuan mereka berada di dekatnya sampai mereka pulang dari perjalanan perang.

Namun, si abid menolaknya.
Ketiga bersaudara itu terus berusaha dan meminta si abid agar mau menerimanya.
Akhirnya, si abid pun mau menerima, seraya mengatakan, “Tempatkan saja ia di rumah yang berdampingan dengan tempat ibadahku ini!”

Mereka menempatkan gadis itu di rumah tersebut sebagaimana yang dikatakan si abid. Kemudian, ketiganya pun pergi berperang di jalan Allah.

Setan Mulai Bersiasat

Gadis itu sudah cukup lama berada di kediaman dekat tempat si abid. Sementara si abid biasa menaruh makanan di bawah tempat ibadahnya untuk diambil oleh gadis itu. la tidak mau mengantar makanan ke rumah yang ditempati wanita itu. la meminta agar gadis itulah yang mengambilnya. Maka gadis itulah yang selalu keluar dari tempatnya untuk mengambil makanan setiap hari.

Setan pun datang membujuk si ahli ibadah dengan menggambarkan kebaikan. Setan mengatakan kepadanya, kalau wanita itu selalu keluar dari rumahnya di waktu siang untuk mengambil makanan, nanti akan ada orang yang melihat dan menyergapnya.

Setan berbisik kepadanya, “Jika engkau yang pergi sendiri untuk mengantarkan makanan dan menyimpan di pintu rumahnya, itu akan lebih baik dan lebih besar pahalanya bagimu.”

Setan tak henti-hentinya membisikkan suara tersebut sampai akhirnya sang ahli ibadah menurutinya. Maka ia sendiri yang menyimpan makanan di dekat pintu rumah tempat gadis tadi berdiam.

Namun, ketika meletakkan makanan di depan pintu, ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Cukup lama si abid melakukan hal itu. Hingga setan datang lagi kepada si abid dan menganjurkan agar dirinya mau menambah “kebaikan”. Setan berbisik kepadanyq, “Jika engkau mengajak ngobrol kepadanya, ia akan merasa tenteram dengan obrolanmu. Sebab, ia sedang kesepian sekali.”

Setan tak henti-hentinya merayu si abid agar mau melakukan apa yang dibisikkannya itu.
Akhirnya; ahli ibadah ini terkadang mengajak ngobrol gadis tersebut dari atas tempat ibadahnya. la tidak mau turun ke bawah, karena takut terkena dosa.

Selanjutnya setan 8atang lagi kepada si abid dan mengatakan, “Jika engkau turun ke bawah dan duduk di pintu tempat ibadahmu untuk bercakap-cakap dengannya dan dia pun tetap berada di pintu rumahnya, itu lebih baik dan menambah rasa tenang kepadanya.”

Setan tak henti-hentinya merayu sang ahli ibadah hingga si abid pun mau melakukannya. la duduk di pintu tempat ibadahnya, begitu juga si gadis di pintunya. Mereka pun saling bercakapcakap.
Cukup lama dua orang tersebut terus-terusan melakukan kebiasaan bercakap-cakap di atas pintu masing-masing.

Seperti biasanya, setan datang lagi membujuk si abid agar melakukan “kebaikan” yang lebih banyak lagi. Setan berbisik, “Jika engkau keluar dari tempat ibadahmu lalu mendekati pintu rumahnya dan engkau berbicara dengannya, ia akan lebih tenteram dan lebih merasa senang. Itu kebaikan yang besar. la tidak harus keluar dari rumahnya. Biarlah ia berada di dalam rumahnya dan engkau di luar.”

Setan tak henti-hentinya membisikkan hal tersebut. Akhirnya si abid pun mau melakukan apa yang dibisikkan kepadanya itu.

Si abid akhirnya terbiasa mendekati pintu rumah tempat gadis tadi berdiam. la bercakap-cakap dengannya. Padahal, awalnya ia tak pernah beranjak dari tempat ibadahnya. Kalaupun untuk mengajak berbicara kepada gadis itu, ia melakukannya dari atas dan tidak mau turun ke bawah. Cukup lama kebiasaan yang dilakukan oleh sang ahli ibadah tersebut.

Selanjutnya setan datang kepada sang ahli ibadah dan berbisik, “Jika engkau masuk ke dalam rumahnya, lalu engkau bercakap-cakap dengannya, itu lebih baik. Sebab, jika engkau ada di dalam, wanita itu tetap tidak terlihat orang lain.”

Ahli ibadah ini mengikuti saran setan sehingga ia pun masuk ke dalam rumah tersebut.
Hampir seharian penuh, setiap hari, si ahli ibadah bercakap-cakap dengan si gadis.
Ketika waktu telah menjelang sore, ia baru naik ke atas tempat ibadahnya untuk melanjutkan ibadahnya.
Terjadilah Perzinaan

Setan selalu datang kepada si abid untuk merayunya setiap saat. Lama-kelamaan si abid bahkan sampai dapat menyentuh tubuh gadis tersebut.

Setan terus-menerus mengganggu si abid dan si gadis. Dan, terjadilah perzinaan.
Akhirnya, wanita itu pun hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki.

Setan pun datang kembali kepada si abid dan berkata kepadanya, “Bagai
mana kalau nanti saudara-saudara perempuan ini datang sementara ia melahirkan anak darimu? Apa yang akan engkau katakan? Mereka pasti akan mencela dan menghajarmu. Kareha itu, bunuh saja anak itu.

Perempuan itu pasti akan menutupi rahasia ini. Sebab, ia juga takut kepada saudara-saudaranya kalau mereka mengetahuinya.”

Maka si abid melakukan apa yang disarankan oleh setan tersebut, yaitu membunuh anak itu.
Setelah dia membunuh anak laki-laki itu, setan berkata kepadanya, “Tapi, wahai pemuda, apa kau yakin perempuan itu akan menyembunyikan apa yang dilakukan olehmu? Sudah, bunuh saja dia!”

Si abid pun akhirnya membunuh perempuan itu dan menguburkannya bersama anaknya. la meletakkan batu besar di atas kuburan anak dan ibunya tersebut.

Setelah itu, ia naik ke atas tempat ibadahnya untuk meneruskan ibadah.

Mati Su’ul Khatimah

Tidak lama setelah kejadian itu, datanglah ketiga_saudara perempuan yang dibunuh tadi dari berperang. Mereka langsung menuju ke tempat si abid, menanyakan perihal saudara perempuan mereka.

Mendengar pertanyaan tersebut, si abid menangis dan menceritakan kejadian yang mengerikan. la menyebutkan, saudara perempuan mereka meninggal karena suatu penyakit. “Saya sangat mengenalnya, ia adalah seorang wanita yang baik. Kuburannya ada di suatu tempat,” kata si abid sambil menunjukkan sebuah kuburan yang agak jauh dari tempat ibadahnya.

Mereka segera mendatangi tempat yang ditunjukkan si abid. Sesampainya di sana, ketiganya menangis. Beberapa hari mereka tak henti-hentinya menziarahi kuburan adiknya. Setelah itu mereka pun pulang ke rumah keluarga asal mereka.

Ketika malam tiba dan mereka telah tertidur, setan datang dalam mimpi mereka. Dalam mimpi tersebut setan muncul dalam bentuk seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan. Setan memulai mendatangi orang yang paling tua di antara mereka dan bertanya mengenai saudara perempuannya.

Sang kakak yang paling besar pun menceritakannya sebagaimana berita yang diterimanya dari si abid dan ia telah mengunjungi kuburannya.

Setan menyatakan bahwa kabar tersebut adalah dusta, “Apa yang dikabar kan olehnya tentang saudara perempuanmu hanya bualan. Justru ia telah menghamilinya dan adikmu melahirkan anak laki-laki. Karena takut diketaliui, ia membunuhnya dan membunuh pula ibunya.

la memasukkan keduanya ke dalam sebuah lubang yang telah digali di balik pintunya, yaitu di sebelah kanan. Silakan engkau datangi tempat tersebut dan buktikan saja di sana. Kalian akan menemukan keduanya sebagaimana yang aku beritakan ini!”

Selanjutnya setan mendatangi kedua saudaranya yang lain dan menyampaikan kabar yang sama.
Ketiganya merasa kaget atas mimpi itu sebab mereka memimpikan hal yang sama. Saudara yang paling besar berkata, “Ah, itu hanya mimpi. Tidak ada apa-apanya. Sudah, jangan kalian hiraukan, kita biarkan saja!”

Saudara yang paling kecil berkata, “Demi Tuhan, saya tidak akan tenang kecuali setelah membuktikan tempat yang ditunjukkan itu.”

Akhirnya ketiganya berangkat mendatangi rumah bekas hunian adik perempuan mereka. Mereka membuka pintu rumah tersebut dan mencari tempat yang disebutkan oleh setan kepada mereka di dalam mimpi. Benar saja, mereka menemukan saudara perempuan dan anaknya telah digorok lehernya dan diletakkan di tempat itu.

Mereka pun datang kepada si abid dan menanyakan keadaan yang sebenarnya.
Akhirnya si abid membenarkan apa yang dikatakan oleh setan tadi.

Ketiga saudara perempuan tersebut akhirnya membawa turun si ahli ibadah dan menghadapkannya kepada raja. Sang ahli ibadah divonis mati dengan disalib.

Ketika si abid sudah diikat di atas kayu untuk dibunuh, datanglah setan kepadanya dan berkata, “Aku ini sahabatmu yang mengujimu dengan perempuan yang engkau hamili dan bunuh itu.

Jika engkau ikuti perintahku hari ini dan kafir kepada Allah… aku akan menyelamatkanmu dari bahaya yang sedang engkau hadapi ini.”
Si abid mengiyakan anjuran setan, yaitu kufur kepada Allah.

Ketika ia telah kafir, setan meninggalkannya dan orang-orang membunuhnya.


Abu Hurairah

Perawi hadist yang tidak bisa menulis.

Dengan daya ingatnya yang tajam, dia berhasil mendapatkan, mengoleksi, dan menyebarluaskan hadis, riwayat, dan perilaku Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat. Kedekatannya dengan Rasulullah membuat ia dianggap bayangan Nabi sendiri.

Hentikan pembicaraanmu tentang riwayat Rasulullah, kalau tidak kamu aku pulangkan ke kampungmu.” Kata Khalifah Umar bin Khattab suatu kali kepada Abu Hurairah. 

Ucapan itu mengandung kegusaran sang khalifah karena ia merasa terganggu dengan kegiatan Abu Hurairah yang sering mengungkapkan hadis dan riwayat Nabi kepada kaum muslimin pada tiap kesempatan. 

Masalahnya ketika itu Umar sedang mensosialisasikan Al-Quran yang sudah dihimpun dalam suatu kitab (mushaf) kepada kaum muslimin. Beliau tidak ingin kaum muslimin terganggu pikirannya dengan adanya bacaan lain selain Al-Quran.

Hal ini bisa dimaklumi karena ketika Umar memegang jabatan khalifah, perkembangan Islam baru dalam tahap awal, namun ancaman dari kaum Quraisy tetap tinggi. Mereka tidak segan-segan melakukan pembunuhan kepada orang-orang Islam yang dijumpai di mana saja. 

Tugas khalifah bukan hanya melindungi kaumnya tetapi juga mengisi jiwa mereka dengan kalam Ilahi, dalam hal ini Al-Quran. Apalagi tingkat kecerdasan mereka masih rendah. Untuk tidak mengaburkan pendalaman mereka terhadap wahyu-wahyu Ilahi, Umar menghendaki agar sosialisai Al-Quran itu tidak dicampuri dengan bacaan-bacaan lain.

Abu Hurairah sendiri merasa bahwa keberatan khalifah itu ada benarnya. Namun ia juga merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan hal-hal yang diketahuinya yang berasal dari Nabi SAW. Ia tidak ingin menyembunyikan hadis-hadis yang diyakininya benar karena ia mendapatkannya langsung dari Nabi. Ia merasa berdosa bila hadis-hadis itu tidak diungkapkan kepada kaum muslimin.

Apalagi, kala itu, ada usaha dari Ka’ab Al-Akhbar yang selalu melebih-lebihkan hadis Rasulullah sehingga membingungkan kaum muslimin yang mendengarnya. Ka’ab adalah orang Yahudi yang masuk Islam, namun karena ulahnya itu mendorong orang lain untuk memalsukan hadis demi kepentingan pribadi yang jelas tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. 

Mereka ini tidak segan-segan memanfaatkan nama Abu Hurairah, seolah-olah hadis yang mereka palsukan itu berasal dari Abu Hurairah.

Timbulnya hadis palsu ini sebenarnya juga tidak luput dari perhatian Kalifah Umar. Beliau bahkan telah mengemukakan gagasan bahkan telah mengemukakan gagasan untuk menuliskan hadis-hadis Nabi dalam suatu kitab. 

Namun karena pertimbangan tidak ingin membuat kerancuan tentang Al-Quran pada jemaahnya, ide itu tidak direalisasikan. Akibatnya pemalsuan hadis menjadi-jadi. Satu abad kemudian dua orang perawi hadis yaitu Imam Bukhari menemukan 600.000 hadis dan Abu Dawud menemukan 500.000 hadis. Setelah diseleksi hanya ada 40.000, dan 4.800 hadis yang sahih.

Abu Hurairah adalah nama panggilan yang diberikan teman-teman dekatnya karena kecintaannya kepada kucing. Begitu sayangnya kepada binatang yang satu ini sampai-sampai ia menyuapi, memandikan, dan menyediakan kandang.

Abu Hurairah artinya Bapak Kucing Kecil. Nama aslinya adalah ‘Abdus Syams (Hamba Matahari). Namun, setelah masuk Islam Nabi SAW memberi nama Abdurrahman (Hamba Allah, yang Maha Pemurah).

Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga miskin sebagai anak yatim. Sejak bertemu dengan Nabi pada tahun ketujuh kenabian, ia langsung masuk Islam dan boleh dibilang tidak pernah berpisah dengan beliau. 

Namun ibunya menolak masuk Islam. Bukan itu saja, ibunya juga selalu menyudutkan Nabi sehingga menyakitkan hati Abu Hurairah. Abu Hurairah mohon bantuan doa dari Nabi agar ibunya masuk Islam dan terkabul.

Mengenai kedekatannya dengan Nabi. Abu Hurairah menyatakan bahwa sebagai orang miskin ia tidak disibukkan dengan urusan tanah pertanian seperti halnya orang-orang Anshar atau urusan dagang di pasar seperti halnya orang-orang Muhajirin. “Jadi ketika mereka tidak bisa hadir (di samping Nabi) aku bisa, sehingga aku banyak menerima masukan dari beliau,” katanya.

Selain dekat dengan Nabi, Abu Hurairah memiliki daya ingat yang kuat yang diberkati Nabi sehingga tambah kuat. Itu sebabnya ia mampu menghafal di luar kepala semua hadis Nabi dan juga melaksanakannya sebagai pegangan hidup. 

Maka ia pun meriwayatkan hadis-hadis itu kepada kaum muslimin sebagai rasa tanggung jawab kepada Nabi dan agamanya secara terus-menerus sehingga Umar merasa “risi” ketika ia harus mensosialisasikan Al-Quran.” “Sibukkanlah dirimu dengan Al-Quran dan kurangilah meriwayatkan tentang Rasul kecuali amal perbuatannya,” kata Umar. Padahal menurut Abu Hurairah hadis juga mengandung kebenaran yang harus diungkapkan kepada umat.

Oleh Khalifah Umar ia diangkat sebagai gubernur di Bahrain. Menjelang akhir masa jabatan Umar memanggil pulang Abu Hurairah ke Medinah. Beliau menanyakan asal-muasal uang sepuluh ribu dinar yang ada dalam simpanan sang gubernur. “Uang itu berasal dari hasil penjualan anak-anak kuda milikku,” jawab Abu Hurairah.

“Serahkan uang tiu ke baitul maal”, perintah Umar. Umar memang terkenal sebagai khalifah yang sangat hati-hati memilih pembantu-pembantunya. Ia selalu mengingatkan para pembantunya agar tidak memperkaya diri dan hanya memiliki pakaian sebanyak dua setel, baik ketika diangkat maupun ketika mengakhiri jabatannya.

Abu Hurairah mematuhi perintah itu namun ia menolak ketika akan diangkat lagi sebagai gubernur d Bahrain. “Saya takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa kesabaran,” kilahnya.

Abu Hurairah menyadari bahwa aktivitasnya sebagai perawi hanya bisa disejajarkan dengan Abdulah bin Amr bin Al-‘Ash. Masalahnya, “Abdullah bisa menulis sedangkan aku tidak bisa,” katanya. Namun sekitan tahun kemudian peranan Abu Hurairah itu disakui oleh Imam Syafii dan Imam Bukhari. 

Kedua perawi ini sependapat bahwa Abu Hurairah adalah rujukan para sahabat dalam soal hadis Nabi. “Tidak ada orang yang mampu meriwayatkan hadis Nabi sebaik Abu Hurairah,” kata Imam Bukhari.

Pada tahun 59 H ia wafat pada usia 78 tahun, dikubur di pemakaman Baqi, yang tak begitu jauh dari makam Rasulullah di ujung kiri Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah.


Penyerahan Kunci Yerusalem kepasa Umar



 Suatu hari di tahun 638M, Uskup dari Yerusalem mengumumkan bahwa seorang pemimpin besar Islam, ‘Umar bin Khattab, akan datang untuk menandatangani perjanjian damai dan perlindungan khalifah bagi kota suci Yerusalem.

Maka seluruh penduduk Yerusalem pun tumpah ruah di gerbang kota. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan tampak bersiap menanti arak-arakan kunjungan kenegaraan yang akan tiba, untuk melihat, menyambut dan mengucapkan selamat datang kepada khalifah yang terkenal karena keadilannya itu.

Namun arak-arakan yang diharapkan itu tidak ada. Di cakrawala mereka hanya melihat dua orang yang sederhana bersama seekor unta yang kelelahan. Salah seorang dari mereka duduk di atas punggung unta, dan yang lainnya berjalan kaki sambil menuntun untanya.

Mengira bahwa khalifah pastilah yang duduk di punggung unta, segera seluruh penduduk kota berlarian menyongsong dan menyalami sang penunggang unta untuk menyambutnya, tapi… nanti dulu. “Aku bukanlah Khalifah Islam yang kalian nantikan. Aku hanyalah pengawalnya,” penunggang unta itu mencoba menjelaskan.

Dalam melewati perjalanan jauh dari Damaskus ke Jerusalem, ‘Umar menghargai pengawalnya dengan bergantian menaiki unta mereka. Pada saat menjelang tiba di gerbang kota, merupakan giliran ‘Umar  lah yang berjalan menuntun unta.

Semua orang takjub dengan pribadi sang pemimpin besar Islam itu. Saat tiba waktu shalat, sang Uskup mengajak ‘Umar ke sebuah gedung yang indah dan mempersilahkan ‘Umar shalat di sana. Menyadari bahwa gedung itu tempat suci orang Kristen, ‘Umar memilih shalat di depan pintu gereja.

Mengapa? Haramkah shalat di sana? “Jika saya shalat di tempat suci kalian,” demikian kata ‘Umar kepada sang Uskup setelah selesai shalat, “para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah shalat di dalamnya.

Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat di luar.” Jerusalem adalah kota suci agama-agama besar.

Tanahnya telah dibasahi dan disuburkan oleh ribuan darah manusia —sejak abad ke 20 SM hingga sekarang, abad ke-20 M— yang berperang atas nama agama dan berpindah tangan berkali-kali. Namun dengan kuasa cinta, mereka dengan suka cita masuk kekuasaan Islam ditangan seorang ‘Umar, pengawalnya dan seekor unta, sebagaimana Ibrahim a.s diterima Melchizedek, Raja Salem (Jerusalem) pada tahun 1900 SM. Memuji Allah sambil menghancurkan orang lain bukanlah jihad.

Mengapa Dia mengirimkan para Nabi dan Rasul jika Dia bertindak seperti itu? Rasulullah Muhammad saw sendiri diutus bukannya untuk memusnahkan manusia; dia diutus dengan kebijaksanaan yang dapat menunjukkan kepada manusia bagaimana ia mengalahkan kejahatannya sendiri.

Dan jika umatnya telah mampu mengikis habis sifat-sifat jahat dalam dirinya, maka tidak akan ada lagi permusuhan dan perbedaan di antara manusia: semuanya sama, anak cucu Adam a.s, makhluk Tuhan.

Matahari tidak pernah memilih kepada siapa dia curahkan sinarnya, bulan tidak pernah memilih kepada siapa dia usapkan kelembutannya, mengapa kita harus memilih memberikan kasih sayang kepada sesama? Jika kita menerima dan memahami Islam, maka kita tidak akan menganggap siapapun sebagai musuh.

Kita tidak akan lagi melihat perbedaan apapun dan membuat pertentangan, apalagi melakukan ‘takfirisme’ (mengkafirkan orang lain) kepada sesama muslim. Allah memberikan payung perahmatan Islam ini bukan hanya kepada umat Islam, tapi kepada manusia bahkan seluruh alam semesta.

Islam bukanlah agama untuk pertentangan, peperangan dan kehancuran, jika ada yang demikian tentulah bukan ajaran Islam. Islam adalah rahmatan lil-’âlamîn. Ajarannya bukanlah untuk mementingkan (ego) diri sendiri, golongan sendiri, agama atau manusia, tapi bukan pula untuk tidak memiliki kepentingan.

Ajarannya adalah untuk mencurahkan kasih sayang, keselamatan dan kedamaian kepada seisi alam semesta. Untuk merahmati alam semesta. Islam hanya memandang yang Satu; satu keadilan, keimanan, kebijakan dan kebenaran untuk apa dan siapa saja. Itulah yang dikatakan Uskup kepada ‘Umar saat memberikan kunci Kota Suci Jerusalem.

Namun dia kemudian bertanya, “Tetapi berapa lamakah kunci itu akan tetap di tanganmu? Kapankah tempat suci ini akan kembali kepada kami?”. Jawab ‘Umar, “Hari ini, tempat ini memang telah beralih kepada kami.

Dengan empat sifat; keimanan, kebijakan, keadilan dan kebenaran, kota ini beralih pada kami. Selama empat sifat itu dimiliki dan diamalkan kaum muslimin, maka mereka akan mempertahankan kota ini. Tetapi jika sifat-sifat itu terpisah dari Islam, maka tempat ini akan berpindah tangan sekali lagi.” ‘Umar kemudian melanjutkan,

“Ketika hal itu terjadi (perpindahan tangan Jerusalem), kaum muslimin seakan tepung dalam adonan dan yang merebutnya hanyalah sedikit garam”. Perkataan ‘Umar terbukti benar adanya. Selama umat Islam memiliki keempat sifat ini dan hidup dalam kasih sayang dan memberikan ketentraman kepada orang lain, kedamaian akan ditemukan dalam Islam.

Namun apabila keadilan ini berubah, keadilan akan hilang, maka tibalah saatnya kita tidak menemukan kedamaian dalam Islam dan di dunia. Rasa kasih sayang dan perdamaian adalah kekuatan Islam, yang akan memberikan kekuatan dan kedamaian pada seluruh dunia.

Inilah yang menaklukan dunia: dengan menaklukan hati dengan cinta. Pedang tidak akan menaklukan dunia; cinta lebih tajam dari pedang. Cinta itulah pedang agung nan lembut; pedang hanyalah ilusi ego dan kekuasaan. Dan rahmat-Nya pun mendahului murka-Nya. Hamba mohon ampunan-Mu. Hamba mohon pertolongan dan rahmat-Mu


Abdullah bin Ummi Maktum

Si Buta yang Membuka Mata Hati Rasulullah
Karena dia, Rasulullah menerima 16 ayat yang senantiasa dibaca sampai hari kiamat.

Pada masa awal Islam, Rasulullah sering berdialog dengan para pentolan Quraisy agar mereka menghentikan penganiayaan terhadap kaum muslimin. Suatu hari ketika beliau tengah berbincang-bincang dengan ‘Utbah bin Rabi’ah dan adiknya, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Ummayah bin Khalaf, dan Walid bin Muqhirah, masuklah seorang laki-laki yang berjalan dengan bantuan tongkat. Ya, laki-laki itu buta.

“Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepadamu,” kata Abdullah bin Ummi Maktum, laki-laki tunanetra itu.

Tapi apa reaksi Rasulullah SAW? Beliau tidak mempedulikan permintaan itu, dan meneruskan diskusinya dengan kelima pemuka Quraisy tersebut, karena beliau sangat berharap mereka bersedia masuk Islam sehingga mampu memperkuat barisan kaum muslimin.

Usai diskusi, Rasulullah bermaksud pulang. Namun kepalanya tiba-tiba terasa berat dan penglihatannya menjadi gelap. Saat itulah Allah memperingatkan utusan-Nya itu dengan firman-Nya seperti termaktub dalam surah ‘Abasa, ayat 1-16. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.

Tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun (terhadap) orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy itu), kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). 

Dan adapun (terhadap) orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah), kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan; maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (utusan), yang mulia lagi berbakti.”

Sejak saat itu Rasulullah SAW selalu memperlakukan Abdullah dengan baik, menanyakan keadaannya, dan memenuhi kebutuhannya. Memang teguran dari langit itu sangat keras. Tidak pantas beliau memperlakukan orang buta seperti itu. Apalagi dia minta diajari ayat-ayat suci milik Allah.

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengna sikap beliau kepada Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Setelah Perang Badar usai, Allah melalui firman-firman-Nya mengangkat derajat kaum muslimin yang ikut berperang membela agama-Nya. Kelebihan-kelebihan yang didapat jika seseorang berjuang di jalan Allah lalu mati syahid. 

Ayat-ayat tersebut sangat mengesankan hati Abdullah bin Ummi Maktum. Tapi baginya bukan perkara mudah untuk bisa meraih kemuliaan itu, karena kondisi matanya yang buta. “Seandainya tidak buta, aku pasti ikut berperang fi sabilillah,” katanya kepada Rasulullah kemudian.

Kepada Allah dia berdoa agar diturunkan ayat-ayat bagi orang-orang cacat atau uzur seperti dia, yang ingin berjuang di jalan Allah. “Ya Allah, turunkanlah ayat mengenai orang-orang yang cacat dan uzur seperti aku,” doanya.

Tidak lama berselang, Allah menjawab doa Abdullah lewat Rasulullah SAW, seperti termaktub dalam surah An-Nisa ayat 95, yang maknanya, “Tidak sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. 

Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang duduk dengan pahala yang besar.”

Meski sudah ada pengecualian seperti itu, Abdullah tetap bertekad ingin ikut perang fi sabilillah. “Tarulah saya di antara dua barisan sebagai pembawa bendera,” pintanya. “Saya akan memegang erat-erat bendera itu dan tidak akan lari, karena saya buta.”

Keinginan dan harapan itu lama sekali baru terkabul, yaitu saat kekhalifahan Umar bin Khaththab. Ketika pecah Perang Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum tampil dengan baju zirah dan membawa bendera kaum muslimin maju ke medan pertempuran. Ia berjanji akan selalu mengibarkannya atau mati di samping bendera itu. 

Dalam peperangan yang dikomandani sahabat Saad bin Abi Waqqash itu, tujuan kaum muslimin adalah untuk memerangi negeri Persia yang zhalim.

Perang itu hanya berjalan tiga hari, kemenangan diraih pasukan kaum muslimin dan merupakan kemenangan terbesar. Namun Abdullah bin Ummi Maktum wafat sebagai syuhada, seperti yang dicita-citakannya. Abdullah gugur sambil memeluk bendera kaum muslimin.

Sebagaimana Rasulullah SAW, Abdullah bin Ummi Maktum juga penduduk Makkah dari suku Quraisy. Bahkan dia masih mempunyai pertalian kekerabatan dengan junjungan kita itu, karena dia saudara sepupu Siti Khadijah RA, istri Rasulullah.

Abdullah lahir dari pasangan Qais bin Zaid dan Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar Ummi Maktum, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam keadaan buta total.

Meski buta, Allah melapangkan dadanya dengan menerima agama baru itu. Maka siksaan dari kaum Quraisy pun ikut melanda tubuhnya. Agaknya orang-orang Quraisy tidak pilih bulu dalam usahanya memerangi kaum muslimin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah Abdullah dalam memeluk agama yang agung dan lurus itu. 

Dia rajin mendatangi majelis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al-Quran. Setiap kesempatan luang selalu diisi sendiri dengan membasahi lidahnya dengan ayat-ayat suci.

Ketika Rasulullah memutuskan berhijrah ke Madinah karena tingginya tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin. Abdullah bin Ummi Maktum tak mau ketinggalan. Ia tiba di Madinah bersama sahabat-sahabat yang lain dalam rombongan yang pertama. 

Setelah Rasulullah tiba di sana, beliau mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah menjadi muadzin. Apabila Bilal mengumandangkan adzan, Abdullah yang melakukan iqamah. Begitu pula sebaliknya, bila Abdullah yang adzan, Bilal yang iqamah.

Abdullah dikaruniai umur yang panjang sampai pada masa khalifah kedua, Umar bin Khathtab. Selama itu pula, dalam kebutaannya, dia tetap tercatat sebagai sahabat yang teguh menjalankan ajaran Islam yang diwariskan sepupunya, Muhammad bin Abdullah, Rasulullah SAW, nabi terakhir.


Abdullah bin Salam

Dia seorang pendeta yang hatinya bergetar ketika bertemu Rasulullah, dan akhirnya menjadi sahabat yang setia.
Hushain bin Salam adalah kepala pendeta Yahudi di Madinah. Meskipun penduduk Madinah berlainan agama dengannya, mereka menghormati Hushain, karena dia dikenal sebagai orang yang taqwa, baik hati, istiqamah, dan jujur.

Kehidupan Hushain tenang dan damai. Waktu baginya sangat berharga dan bermanfaat. Dia membagi waktunya dalam tiga bagian: sepertiga pertama digunakan di gereja untuk mengajar dan beribadat, sepertiga kedua digunakan di kebun untuk merawat, dan membersihkan kebun, dan sepertiga terakhir untuk membaca kitab Taurat dan memperdalam ilmu yang diajarkan agama.

Setiap kali bertemu dengan ayat yang memberi kabar gembira (bisyarah) tentang kebangkitan seorang nabi di Makkah, untuk menyempurnakan risalah para nabi yang terdahulu dan sebagai penutup kebangkitan para nabi, selalu dibacanya berulang-ulang, dipelajarinya lebih mendalam sifat-sifat atau ciri-ciri nabi yang ditunggu-tunggu itu.

Dia sangat gembira setelah tahu bahwa nabi yang akan muncul itu akan hijrah ke negerinya, Madinah. Maka setiap dibacanya ayat-ayat yang memberitakan kabar itu, terlintas di hatinya akan kedatangan nabi tersebut, lalu dia berdoa kepada Allah semoga umurnya dipanjangkan untuk menyaksikan kebangkitan nabi yang ditunggu-tunggu, semoga dapat kesempatan bertemu dengannya, dan menjadi orang pertama yang menyatakan iman kepadanya.

Allah mengabulkan doa Hushain dengan memanjangkan umurnya sampai kebangkitan Nabiyyul Huda war Rahmah. Allah menetapkan keberuntungan baginya bertemu dan bersahabat dengan nabi yang dinanti-nantikannya, serta iman dengan agama yang dibawanya.

Maka ketika mendengar berita tentang kemunculan Rasulullah SAW, Hushain segera meneliti nama, silsilah, sifat-sifat, zaman, dan tempat kebangkitannya, dicocokkan dengan yang tertulis dalam kitab Taurat, sehingga ia yakin tentang kenabiannya. 

Dengan hati-hati dan cermat ia memastikan tentang kebenaran dakwahnya. Meski telah memperoleh kepastian, ia menyimpan untuk dirinya sendiri dan akan membukanya pada waktu yang tepat.

Pada suatu ketika, saat ia tengah bekerja membersihkan pohon kurma, seorang munadi (juru seru) memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa Rasulullah sudah berada di Madinah. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” Hushain berseru demi mendengar hal itu.

Bibinya, Khalidah binti Harits, yang duduk di bawah pohon kurma, menukas, “Allah mengecewakan kamu, demi Allah! Seandainya kamu mendengar kedatangan Musa bin Imran, kamu toh tidak dapat berbuat apa-apa lebih dari itu!”

“Hai, Bibi, demi Allah, dia itu adalah saudara Musa, dan agamanya sama,” jawab Hushain. “Dia dibangkitkan dengan agama Musa juga.”
“Diakah nabi yang selalu kamu ceritakan itu, membenarkan dan menyempurnakan risalah-risalah Tuhannya?” tanya si bibi.

“Ya, betul, Bibi,” jawab Hushain.
“O, jadi diakah orangnya?”

Kemudian Hushain berusaha menemui Rasulullah, berdesak-desakan dengan orang ramai, sebelum akhirnya dapat berhadapan dengan Rasulullah. Saat itu Hushain mendengar Rasulullah mengucapkan kata-kata yang menyentuh hatinya. “Hai Manusia, sebar luaskanlah salam. 

Berilah makan orang yang kelaparan. Shalatlah tengah malam, ketika orang banyak sedang tidur nyenyak. Pasti kamu masuk surga dan bahagia.”

Selanjutnya Hushain bercerita, “Aku pandangi beliau dengan ilmu firasat, dan mataku lekat padanya. Aku yakin, wajahnya tidak menunjukkan wajah orang pembohong. Lalu kuhampiri beliau sambil mengucapkan dua kalimah syahadat: Aku mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dna sesungguhnya Muhammad rasul Allah.
Beliau menoleh kepadaku, seraya bertanya, ‘Siapa Tuan?’

‘Hushain (kuda kecil) bin Salam’, jawabku.
‘Mestinya Abdullah (hamba Allah) bin Salam,’ kata beliau mengganti namaku dengan nama yang lebih baik.
Aku setuju…!Abdullah bin Salam…!’Demi Allah, yang mengutusmu dengan agama yang benar, mulai hari ini aku tidak suka lagi memakai nama yang lain selain Abdullah bin Salam,’ kataku.

Sesudah itu aku pulang ke rumah. Lalu aku ajak istri, anak-anak, dan keluargaku masuk Islam. Bibi Khalidah, yang sudah cukup tua, pun turut masuk Islam. Namun, kepada mereka aku minta agar hal itu dirahasiakan untuk sementara waktu.

‘Ya Rasulullah, kaum Yahudi suka berbohong dan sesat. Aku harap, Tuan memanggil pemimpin mereka dan ajaklah mereka masuk Islam. Namun, tolong sembunyikan aku dan jangan katakan bahwa aku telah masuk Islam.’

Di hadapan pemimpin kaum Yahudi itu, Rasulullah mengingatkan mereka tentang ayat-ayat kitab Taurat dan mengajak mereka masuk Islam. Tapi mereka membantah dan mengajak berdebat tentang kebenaran. Semua itu aku dengar dengan jelas.

Ketika Rasulullah merasa tidak ada harapan mereka akan beriman, beliau bertanya, ‘Bagaimana kedudukan Hushain bin Salam di hadapan kalian?’

‘Dia pemimpin kami, kepala pendeta kami, dan orang alim kami,’ jawab mereka.
‘Bagaimana pendapat kalian jika dia masuk Islam, maukah kalian masuk Islam bersama dia?’ tanya Rasulullah.
‘Tidak mungkin! Tidak mungkin dia masuk Islam,’ jawab mereka.

Aku keluar dari kamar Rasulullah dan menemui mereka. ‘Hai, orang-orang Yahudi,’ kataku, “bertaqwalah kalian kepada Allah, terimalah agama yang dibawa Muhammad. Demi Allah, sesungguhnya kalian sudah tahu bahwa Muhammad itu benar Rasulullah. 

Bukankah kalian telah membaca dalam Tuarat nama dan sifat-sifatnya? Aku mengakui bahwa sesungguhnya dia Rasulullah, dan aku beriman kepadanya, aku membenarkan segala ucapannya, dan aku meyakininya.’

‘Kau bohong!” kata mereka. ‘Sesungguhnya kau jahat dan sangat bodoh!’ kemudian sumpah serapah pun mengalir dari mulut-mulut mereka, diarahkan kepadaku.

Kepada Rasulullah, aku berkata, ‘Begitulah mereka. Sesungguhnya orang Yahudi suka berbohong dan pandai berkata yang batil. Mereka pandai menipu dan berbuat kejahatan’.”

Abdullah bin Salam menerima Islam seperti orang kehausan yang menemukan air di telaga yang bening. Dia sangat senang membaca Al-Quran sehingga lidahnya selalu basah dengan ayat-ayat Allah yang mulia itu. 

Dia mengasihi Nabi SAW dan selalu dekat dengan beliau. Dia selalu menjaga diri untuk beramal dan mengharapkan surga sampai suatu saat Rasulullah memberinya kabar gembira dengan surga dan diketahui para sahabat.

Seorang sahabat berkisah, “Pada suatu hari aku sedang belajar di sebuah halaqah (kelompok belajar) masjid Rasulullah di Madinah. Dalam halaqah itu terdapat seorang tua yang ramah dan menyenangkan hati. 

Penampilannya sangat manis dan mengesankan semua orang. Ketika orang tua itu pergi, jamaah berkata, ‘Siapa yang ingin menengok laki-laki penduduk surga, tengoklah orang itu.’
Aku bertanya, ‘Siapa dia?’

‘Abdullah bin Salam,’ jawab mereka.
‘Demi Allah, akan aku ikuti orang itu,’ kataku dalam hati.

Lalu kuikuti dia sampai ke rumahnya di luar kota Madinah. Setiba di sana aku minta izin masuk dan dipersilakan.
‘Anak muda, apa keperluanmu datang kemari?’ dia bertanya.

‘Aku mendengar orang-orang bicara tentang diri Bapak ketika Bapak keluar dari masjid tadi,’ kataku. ‘Kata mereka: Siapa yang ingin menengok lelaki penghuni surga, tengoklah orang itu.
Mendengar ucapan mereka itu, aku ikuti Bapak hingga sampai kemari, karena ingin tahu mengapa orang banyak mengatakan bahwa Bapak penduduk surga.’

Jawabnya, ‘Allah yang paling mengetahui tentang penduduk surga.’
Kataku, ‘Ya tentu, tapi pasti ada sebabnya mengapa mereka berkata demikian.’
‘Akan kujelaskan kepadamu sebab-sebabnya,’ jawab orang tua itu.

‘Silakan, Pak, semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan yang lebih baik,’ kataku.
‘Pada suatu malam ketika Rasulullah masih hidup, aku bermimpi. Seorang laki-laki datang kepadaku seraya berkata: Bangun, bangun!

Aku bangun, lalu ditariknya tanganku. Tiba-tiba aku melihat sebuah jalan di sebelah kiriku. ‘Ke mana nih?’ aku bertanya.

‘Jangan turuti jalan itu,’ jawabnya. ‘Itu bukan jalanmu.’
Tiba-tiba aku melihat jalan terang benderang di sebelah kananku.
‘Lewatilah jalan itu,’ katanya kepadaku.

Aku telusuri jalan itu hingga sampai ke sebuah taman luas yang asri oleh pepohonan yang hijau dan indah. Di tengah taman terdapat sebuah tiang besi, pangkalnya tertancap di tanah dan ujungnya sampai ke langit. Di puncaknya terdapat sebuah halaqah berlapis emas. Kata orang itu, ‘Panjatilah tiang itu.’
‘Aku tidak bisa,’ jawabku.

Maka datang seorang khadam yang membantuku naik hingga ke puncak tiang besi itu dan aku dibawa ke halaqah tadi. Di sana aku tinggal sampai pagi dengan perasaan yang sangat bahagia.
Setelah pagi hari, aku segera menemui Rasulullah dan menceritakan mimpiku itu.

Beliau bersabda, ‘Jalan yang engkau lihat di sebelah kiri adalah jalan penduduk neraka (ash habusysyimal), dan jalan yang engkau lalui adalah jalan penduduk surga (ashhabul yamin). Taman yang menjadikan engkau rindu dengan kehijauannya, itulah Islam. 

Adapun tiang yang terpancang di tengah-tengah taman itu adalah tiang agama. Sedangkan halaqah itulah pegangan yang kokoh, kuat, yang dengannya engkau senatiasa harus berpegangan sampai mati.”

Seutama-utamanya manusia, bagi Allah SWT, ialah yang mendahului Salam (HR At-Tirmidzi)


Ukasyah

Hasrat Mencium Stempel Kenabian.
Sahabat yang satu ini memang lihai. Untuk bisa melihat punggung dan mencium stempel kenabian, dia berpura-pura menagih “piutang” berupa pukulan di punggung kepada Rasulullah.

“Siapa di antara kalian yang pernah berpiutang kepadaku, apakah piutang harta atau yang lain?” Kalimat itu meluncur dari lisan Baginda Nabi Muhammad seusai beliau mengimami shalat Ashar kepada para jamaah dan sahabat. Tentu saja kata-kata itu sangat mengagetkan mereka. Namun tidak ada yang menjawab.

“Atau barangkali di antara kalian ada yang merasa terlukai olehku, baik luka badan maupun luka hati?” Beliau melanjutkan ucapannya. “Tagihlah sekarang juga. Aku ingin melunasi segala utangku, termasuk utang pukulan badan, dari kalian, karena hari ini aku mampu membayarnya. 

Ini aku minta kepada kalian karena kelak aku tak bakal sanggup menghadapi pertanyaan Allah di hari kiamat. Tagihlah sekarang juga, aku akan ikhlas membayarnya, termasuk yang merasa tersakiti oleh perbuatanku.”

Siang itu Rasulullah sengaja minta para sahabat berkumpul. Namun, pertanyaan itu justru terasa aneh di telinga dan hati mereka sehingga semuanya terdiam seribu bahasa. Masjid terasa lengang meski disesaki jamaah. Dan agaknya Baginda Rasul sengaja membiarkan hal itu agar ucapan beliau bisa dicerna para jamaah dengan baik. 

Namun, apa yang mesti dijawab dengan pertanyaan beliau, jangankan memberi pinjaman kepada beliau, asalkan beliau bersedia meminta sesuatu apa, mereka menganggap hal itu sebagai kehormatan luar biasa. Akibatnya para jamaah merasa terbius dan tak mampu membuka mulut hanya untuk sekedar mengiyakan atau menolak.

Setelah berlangsung agak lama, tiba-tiba seseorang mengancungkan tangan, “Hamba Ukasyah, ya Rasul, ingin menagih utang kepada Baginda .”

Seketika ucapan itu mengagetkan seluruh hadirin, tapi tidak demikian dengan Baginda Nabi, beliau bertanya, “Utang uang, atau…?”

“Bukan ya Rasul, hamba ingin menagih pukulan kepada Tuan. Hamba masih ingat, Tuan pernah menyakiti diri hamba. Kalau memang itu yang Tuan maksudkan, hamba akan membalas memukul Tuan,” kata Ukasyah.

“Baiklah, Ukasyah, tapi apa yang pernah kau alami dengan perbuatanku?” Baginda Nabi balik bertanya.
Belum sempat Ukasyah menjawab pertanyaan itu, Abubakar dan Umar berdiri serempak. 

Dengan wajah membara, Umar, yang temperamental, langsung menghardik Ukasyah “Ukasyah, jaga mulutmu kalau tidak ingin aku pecahkan kepalamu. Lancang benar kamu berkata seperti itu kepada Baginda Nabi.”

Namun Rasulullah segera menengahi. “Sabar, sabar, sahabatku, duduklah dan biarkan Ukasyah berkata jujur.”
Lalu Nabi memalingkan muka beliau kepada Ukasyah. “Apakah yang pernah aku lakukan pada dirimu. Katakan yang sebenarnya, tidak usah takut.”

Meski dengan nada ketakutan, Ukasyah berkata, “Pada saat Perang Badar, hamba berkuda berjalan di samping Tuan, tiba-tiba tongkat Tuan menyentuh badan hamba dan melukai punggung hamba…”

Sampai di situ, Ali bin Abi Thalib tiba-tiba menimpali. “Pantaskah kamu menagih pukulan seperti itu terhadap Rasulullah, yang selama ini kita hormati? Toh, hal itu tidak beliau sengaja.”

“Tenanglah Ali,” kata Baginda Nabi. “Marilah kita dengarkan apa pengakuannya. Aku ikhlas menerima permintaannya kalau memang hal itu pernah aku lakukan terhadap dirinya.” Kemudian beliau mempersilakan Ukasyah melanjutkan kalimatnya.

“Ya, sejujurnya begitulah pengalaman hamba. Oleh karena itu, sesuai dengan ucapan Tuan di awal pertemuan ini, hamba ingin menagih janji Tuan tadi.”

“Kalau memang demikian, silakan kamu ke depan dan pukullah punggungku ini,” jawab Nabi sambil menyediakan punggungnya.

Kepada Bilal bin Rabah, Nabi memerintahkan agar menyediakan tongkat yang pernah melukai punggung Ukasyah, “Silakan, Ukasyah, pukullah punggungku ini,” kata Nabi.

Melihat setuasi semacam itu, para sahabat menahan geram. Ada yang menutup mukanya, tapi ada juga yang melotot ingin membunuh Ukasyah, yang dinilai lancang itu.

Tapi Ukasyah justu belum puas. “Ketika badan hamba terpukul oleh tongkat Tuan, hamba tidak mengenakan baju. Karena itu Tuan harus membuka baju juga sekarang,” katanya.

Ucapan Ukasyah itu terasa kurang ajar di kuping Hasan dan Husain, cucu Baginda Nabi. Sebagai ungkapan kesalnya, mereka berdua,yang berada tidak jauh dari kakeknya itu, serempak berdiri.

Namun apa reaksi Nabi? “Sabar cucuku, biarkan dia menggunakan haknya.”
Rasulullah kemudian membuka baju, dan tampaklah kulit yang putih berkilau pada punggungnya. Kepada Ukasyah beliau berkata, “Pukullah segera, wahai Ukasyah.”

Namun, Ukasyah tidak segera memenuni permintaan itu. Diperhatikannya punggung Nabi. Lalu dengan cepat diciumnya stempel kenabian yang berada di punggung Rasulullah. Sebenarnya itu tujuannya, karena tidak semua orang bisa melihat dan mencium stempel kenabian itu.

Setelah puas melakukan itu, tiba-tiba Ukasyah bersimpuh dan menangis, “Wahai Rasulullah, junjungan kami, tidak sekali-kali hamba bermaksud memukul Tuan. Sudah tentu perbuatan demikian merupakan perbuatan yang tidak beradab. 

Hal itu tidak pernah terbesit dalam hati hamba. Maafkanlah hamba, ya Rasulullah, karena tujuan hamba hanya ingin mencium stempel kenabian dan melihat punggung Tuan yang demikian halus dan berkilau serta baunya yang wangi. Sekali lagi hamba mohon maaf atas kelancangan ini.”

Ukasyah mengakhiri kata-katanya, namun tangisnya belum juga reda. Suasana hati yang demikian juga terasa di dada seluruh hadirin.

“Tenanglah, Ukasyah,” kata Nabi meredakan suasana. “Kamu adalah sahabatku yang baik.”
Sejak itu para sahabat merasa lega dan memandang Ukasyah dengan hati terharu. 

Beberapa tahun kemudian Nabi wafat dengan tenang di Madinah.


Ashim bin Tsabit

Jasad pahlawan Perang Uhud ini hampir termakan sumpah Sulafah. Namun, Allah SWT melindunginya dari kebiadaban niat perempuan Quraisy itu.

Siang itu, kaum Quraisy, baik sayyid (bangsawan) maupun ‘abid (hamba sahaya), semuanya keluar untuk memerangi Muhammad bin Abdullah di Uhud. Kedengkian dan nafsu hendak membunuhnya di Badar masih membakar darah mereka. 

Tidak hanya laki-laki, bahkan perempuan bangsawan Quraisy pun turut pula ke Uhud untuk menggelorakan semangat perang para pahlawan mereka dan menggelorakan semangat para lelaki bila ternyata kendur atau melempem.

Di antara para perempuan itu terdapat Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb; Raithah binti Munabbih, istri ‘Amr bin Ash; Sulafah binti Sa’ad, istri Thalhah, serta ketiga anak lelakinya, Musafi, Julas, dan Kilab; dan lain-lain.

Ketika pasukan muslim dan musyrikin telah berhadap-hadapan di Uhud, dan api peperangan mulai menyala, Hindun binti ‘Utbah dan beberapa perempuan lain berdiri di belakang pasukan laki-laki. Mereka memegang rebana, memukulnya sambil menyanyikan lagu-lagu perang. Lagu-lagu itu membakar semangat prajurit berkuda, dan membuat para suami seperti kena sihir.

Setelah pertempuran itu usai, dan ternyata kaum muslimin menderita kekalahan, para perempuan Quraisy pun berlompatan, berlari-lari ke tengah lapangan pertempuran, mabuk kemenangan. Mereka merusak mayat-mayat kaum muslimin yang tewas dalam pertempuran, dengan cara yang sangat keji. Perut mayat-mayat itu mereka belah, matanya dicongkel, telinga dan hidung mereka dipotong.

Bahkan ada seorang di antara mereka tidak puas dengan cara seperti itu. Hidung dan telinga mayat-mayat itu dibuatnya menjadi kalung, lalu dipakai, untuk membalaskan dendam bapak, saudara, atau paman mereka yang terbunuh dalam Perang Badar.

Sulafah binti Sa’ad lain pula gayanya. Hatinya guncang dan gelisah menunggu kemunculan suami dan ketiga anaknya. Dia berdiri bersama kawan-kawannya yang sedang dimabuk kemenangan. Setelah lama menunggu dengan sia-sia, akhirnya dia masuk ke lapangan pertempuran, sampai jauh ke dalam. Diperiksanya satu per satu wajah mayat-mayat yang bergelimpangan.

Tiba-tiba dia menemukan mayat suaminya terbaring berlumuran darah. Dengan pandangan hampa, dilayangkannya pandangan ke segala arah, mencari anak-anaknya. Tak berapa lama, didapatinya Musafi dan Kilab pun telah tewas. Sedangkan Julas masih hidup, dengan sisa-sisa napasnya.

Dipeluknya tubuh anaknya yang dalam keadaan sekarat itu. Kemudian kepala anaknya itu dia taruh dipahanya, dibersihkannya darah pada kening dan mulut anak itu. Air matanya terkuras oleh penderitaan yang hebat yang dialaminya hari itu. “Siapa lawan yang telah melukaimu, Nak?” Sulafah bertanya sambil mengguncang kepala anaknya. “Siapa?”

Di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal, Julas masih mampu menyebut nama, “Ashim bin Tsabit. Dia pula yang membunuh Ayah dan…”Belum habis dia bicara, napasnya telah putus, nyawanya telah dicabut malaikat maut.

Ibu tiga anak itu menangis sekeras-kerasnya. Kemudian, dari mulutnya terlontar sumpah, demi Lata dan Uzza, tidak akan makan dan menghapus air mata, kecuali bila orang Quraisy membalaskan dendamnya terhadap ‘Ashim bin Tsabit, dan memberikan batok kepalanya untuk dijadikan mangkuk tempat minum khamar. 

Dia berjanji akan memberikan hadiah sebanyak yang diminta, kepada orang yang dapat menyerahkan ‘Ashim kepadanya, hidup atau mati.

Sumpah Sulafah itu segera tersiar dengan cepat di seluruh telinga warga Quraisy dan mereka menganggapnya sebagai perlombaan. Setiap pemuda Makkah berharap dapat memenangkan lomba tersebut untuk meraih hadiah besar itu. Maklum, Sulafah adalah wanita kaya.

Seusai Perang Uhud, kaum muslimin kembali ke Madinah. Mereka membicarakan pertempuran yang baru saja mereka alami dengan perasaan sedih atas kepergian pahlawan-pahlawan yang mati syahid, memuji keberanian orang-orang yang luka, dan sebagainya. 

Mereka pun tak lupa menyebut keberanian ‘Ashim bin Tsabit dan mengaguminya sebagai pahlawan yang tak terkalahkan. Mereka kagum, bagaimana ‘Ashim mampu merobohkan tiga bersaudara putra Thalhah sekaligus.

Seorang di antaranya berkata, “Itu masalah yang tak perlu diherankan. Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan kepada para sahabat beberapa saat sebelum berkobar Perang Badar agar mereka berperang seperti ‘Ashim!”

Ya, saat itu ‘Ashim mengutarakan kiatnya berperang kepada Baginda Nabi, yaitu, “Jika musuh berada di hadapanku seratus hasta, aku panah dia. Jika musuh mendekat dalam jarak tikaman lembing, aku bertarung dengan lembing sampai patah. Jika lembingku patah, kuhunus pedang, lalu aku main pedang.”

Saat itu Nabi menimpali, “Begitulah berperang. Siapa yang hendak berperang, berperanglah seperti ‘Ashim.”
Tak berapa lama setelah Perang Uhud, Rasulullah di Madinah memilih enam orang sahabat untuk melaksanakan suatu tugas penting di Makkah, dan mengangkat ‘Ashim sebagai pemimpinnya. 

Keenam orang pilihan ini kemudian berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepada mereka. Setelah berjalan beberapa hari, dan mereka sudah mendekati Makkah, kaum Hudzail memergoki dan segera mengepung dengan ketat.

“Kalian tidak akan mampu melawan kami,” kata mereka. “Kami tidak akan membunuh jika kalian mau menyerah.” Dalam situai yang terdesak seperti itu, keenam sahabat Rasul itu saling berpandangan, seolah bermusyawarah, sikap apa yang harus diambil segera.

“Aku tidak dapat mempercayai janji orang-orang musyrik itu,” kata ‘Ashim. Kemudian diingatkannya sumpah Sulafah. Ya, rupanya sumpah tersebut sampai juga ke telinga ‘Ashim. Lalu dia menghunus pedangnya sambil berdoa, “Ya Allah, aku memelihara agama-Mu dan bertempur karenanya. Maka lindungilah daging dan tulangku, jangan biarkan seorang jua pun musuh-musuh-Mu menjamahnya.”

Kemudian ia maju menyerang pengepungannya, diikuti dua orang kawannya. Mereka bertiga bertempur mati-matian hingga akhirnya roboh dan tewas satu per satu. Sedangkan yang tiga lainnya menyerah sebagai tawanan. Namun, orang-orang Hudzail itu pun tak membiarkan mereka hidup.

Ketika mengetahui bahwa salah seorang korbannya adalah ‘Ashim bin Tsabit, orang-orang Hudzail itu sangat bergembira, membayangkan hadiah besar yang akan mereka terima dari Sulafah. Karena terlalu girangnya, mereka bertindak tidak hati-hati. 

Setelah menyamarkan tempat pertempuran itu, mereka segera melapor kepada Sulafah dan menagih janjinya. Namun, Sulafah juga tidak segera mempercayai laporan itu.
“Mana buktinya?” Sulafah bertanya.

Tentu saja mereka tidak dapat membuktikan, karena jasad ‘Ashim masih mereka sembunyikan di tempat kejadian. Mereka lalu berjanji akan membawanya keesokan harinya.

Di luar dugaan, hal itu segera tersiar kepada orang-orang Quraisy. Mereka tidak tinggal diam, dan saling berlomba untuk menyogok kaum Hudzail dengan hadiah-hadiah yang menarik. Mereka juga berebut batok kepala ‘Ashim.

Untuk menyerahkan batok kepala ‘Ashim kepada Sulafah, orang-orang Hudzail ini kembali ke tempat kejadian dan ingin mengambil mayat ‘Ashim. Namun, begitu sampai di sana, mereka menghadapi peristiwa aneh. 

Sekelompok binatang serangga tiba-tiba datang menyerang, menggigit muka, mata, kening, dan sekujur badan mereka, seolah mengusir mereka agar tidak dapat mendekati jenazah ‘Ashim. Usaha itu dilakukan berkali-kali tapi selalu gagal.

“Sialan betul seranga jahanam itu,” kata pemimpin orang-orang Hudzail itu sengit. “Kita tunggu sampai malam, siapa tahu serangga itu akan pergi bersama datangnya gelap.”

Dengan bersunggut-sunggut karena letih dan lapar, dan sumpah serapah yang tidak kunjung henti, mereka duduk menanti hingga malam menjelang. Tapi, setelah senja datang dan alam berselimut malam, awan tebal hitam menutupi langit.

Kilat dan petir sambung-menyambung, diikuti guyuran air hujan yang laksana ditumpahkan dari langit. Belum pernah terjadi hujan selebat itu sepanjang mereka tahu.

Hati orang-orang Hudzail menjadi kian kecut. Air hujan itu dengan cepat menggelontor dari tempat ketinggian, menutup sungai dan permukaan lembah. Banjir pun tak terelakkan. Melanda segala yang ada, termasuk tempat disembunyikannya mayat ‘Ashim.

Setelah subuh tiba, mereka bangkit dan mencari tubuh ‘Ashim di semua tempat. Namun, usaha mereka sia-sia, bahkan mereka tidak menemukan bekas-bekasnya. Banjir telah menghanyutkan jasad ‘Ashim dan teman-temannya jauh sekali. Hilang, tak diketahui ada di mana.

Ya, Allah Ta’ala mendengar doa ‘Ashim bin Tsabit. Dia melindungi mayat ‘Ashim yang suci, sesuai dengan permintaannya, “Jangan sampai dijamah oleh tangan-tangan kotor orang-orang musyrik.” Dan Dia memelihara batok kepala ‘Ashim yang mulia, agar tidak dijadikan tempat minum khamar oleh Sulafah. Sungguh Allah Maha Menepati Janji.

Nabi SAW bersabda, “Allah melarang kamu bersumpah atas nama bapakmu. Siapa yang hendak bersumpah, hendaklah bersumpah dengan nama Allah.” (HR. Bukhari)