Kamis, 14 Juli 2011

Profesor dan Mahasiswa

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.

“Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi. “Ya, Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan”.

“Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau Agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”.
“Tentu saja,” jawab si Profesor,

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”

Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?” Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”
Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.”

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi Anda salah, Pak.
Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.

Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”
Profesor itu terdiam.

Abu Hanifah dan Ad-Dahri

Baghdad, ibu kota Irak, ibu kota pemerintahan khalifah Abbassiyyah, dan termasuk ibu kota Islam yang bersejarah. Pusat ilmu pengetahuan dan seni, tempatnya para ulama dan ahli syair, kota berkumpulnya ahli sastra dan cendikia.
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Abu Ja’far Abdullah Al-Manshur, ilmu pengetahuan dan kesenian berkembang pesat, marak dengan perdebatan dan diskusi ilmiah. Tetapi sayang di masa itulah tumbuh dan tersebar aliran-aliran sesat. Penyebaran aliran-aliran tersebut sungguh mengancam kokohnya Islam.
Diantaranya adalah suatu aliran yang bernama Ad-Dahriyyah, mereka adalah suatu kelompok yang mengingkari keberadaan Sang Pencipta alam semesta, mereka berpendapat bahwa masa itu adalah qodim (dahulu dan kekal), juga tidak beriman kepada hari kebangkitan dan berpendapat bahwa hari kebangkitan hanyalah dongeng belaka. Menurut mereka yang mematikan kita tidak lain hanyalah berlalunya masa (Ad-Dahr), karena itulah mereka disebut dengan Ad-Dahriyyah.
Dikisahkan bahwa seorang tokoh aliran Ad-Dahriyyah berkunjung ke Baghdad pada masa Syaikh Hammad RA, guru Imam Abu Hanifah. Kedatangannya sungguh membuat resah, ia mengajak ulama-ulama setempat berdebat tentang
keberadaan Allah Ta’ala dan tempatNya. Dengan kepiawaian retorikannya, ia mengalahkan ulama-ulama Baghdad, hingga hampir tidak tersisa lagi ulama Baghdad, semuanya telah ia patahkan argumen-argumennya.
Suatu hari Ad-Dahri berdiri di atas mimbar seraya berseru: “Apakah masih tersisa ulama kalian?” tanyanya congkak.
“Ya…, masih ada guru kita, Syaikh Hammad” Sorak rakyat Baghdad. Kemudian Ad-Dahri menoleh ke arah khalifah dan berkata, “Wahai Paduka yang mulia, hadirkanlah Syaikh Hammad untuk berdebat denganku!” Kemudian sang Khalifah
mengirim utusan mengundang Syaikh Hammad RA. Setelah disampaikan, beliau menjawab, “Beri aku waktu semalam!”
Pada pagi harinya, Abu Hanifah RA yang ketika itu masih kanak-kanak, seperti biasa datang ke rumah sang guru untuk belajar. Setelah diizinkan masuk, Abu Hanifah penasaran melihat gurunya tampak bingung dan bimbang, seperti ada
masalah besar. Abu Hanifah pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya:
“Wahai tuan guru, anda tampak bingung, apa yang sedang terjadi?”
“Bagaimana aku tidak bingung, sang Khalifah telah mengundangku untuk berdebat dengan tokoh Ad-Dahri, dan dia telah mengalahkan semua ulama Baghdad. Aku mengkhawatirkan hancurnya Islam, manakala aku tidak bisa mengalahkannya. Dan juga tadi malam, aku bermimpi sangat aneh!” jawab Syaikh Hammad RA.
“Apa yang anda lihat dalam mimpi, wahai tuan guru?” tanya Abu Hanifah RA dengan nada penasaran.
Syaikh Hammad RA menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berkata, “Tadi malam aku melihat sebuah istana yang luas dan indah, di dalamnya terdapat sebuah pohon yang rindang berbuah. Tiba-tiba seekor babi muncul dari bawah tiang istana, lalu memanjat pohon tersebut dan memakan buah-buahannya, daun-daun, dan ranting-rantingnya hingga hanya tersisa batangnya saja. Setelah itu tiba-tiba dari pangkal batang pohon tersebut, keluar seekor singa lalu menerkam dan membunuh babi itu.”
“Wahai tuan guru, Allah Ta’ala telah mengaruniai saya dengan ilmu ta’bir mimpi, menurut hemat saya mimpi ini adalah pertanda baik bagi kita dan pertanda buruk bagi musuh kita.” Sahut Abu Hanifah RA.
“Jika tuan guru berkenan, saya akan menjelasakan tafsir mimpi itu!” tambahnya.
“Ya, terangkanlah!” jawab Syaikh Hammad RA.
Lalu Abu Hanifah RA mulai menjelaskannya: “Istana yang luas dan indah itu adalah negeri Islam, sedangkan pohon berbuah itu adalah para ‘ulama, dan batang yang masih tersisa adalah tuan guru, babi itu adalah Ad-Dahri, sedangkan singa yang membunuhnya adalah saya. Ajaklah saya bersama tuan guru, semoga dengan keberkahan cita-cita dan kemulian tuan guru, Insya Allah saya akan berdebat dengan Ad-Dahri dan mengalahkannya.” Seru Abu Hanifah RA dengan semangat menyala-nyala.
Syaikh Hammad RA sangat gembira mendengarnya, lalu keduanya beranjak dari tempatnya untuk berangkat saat itu juga ke masjid Jami’ Baghdad. Sang Khalifah pun ikut hadir untuk menyaksikan perdebatan yang pasti akan seru itu, demikian juga penduduk kota Baghdad tidak ingin ketinggalan menyaksikannya, mereka berkumpul di masjid Jami’ sambil menunggu kedatangan beliau.
Akhirnya datanglah Syaikh Hammad bersama muridnya Abu Hanifah, lalu mereka mengambil tempat duduk. Abu Hanifah berdiri di atas sepatunya yang ia tutupi dengan alas tidurnya supaya terlihat agak tinggi, sambil membawakan sandal gurunya.
Lalu datanglah Ad-Dahri, ia berjalan dengan angkuh, kemudian ia naik ke atas mimbar dan berkata: “Siapa yang bisa menjawab pertanyaanku? Ayo siapa? Ha..ha..ha…….”
“Omongan macam apa ini? Tanya saja, jangan banyak bicara, orang yang tahu nanti juga akan menjawab pertanyaanmu!” sahut Abu Hanifah RA.
Ad-Dahri pun angkat bicara, “Wahai bocah ingusan, siapa kamu ini? Berani-beraninya berkata lancang di hadapanku, berapa banyak para sesepuh-sesepuh ulama, ahli ilmu yang bersorban besar, berpakaian mewah, berlengan lebar, mereka semua telah berdebat denganku tapi akhirnya mereka takluk dan tidak sanggup menjawab pertanyaanku. Lalu bagaimana dengan engkau, engkau mau berdebat denganku, padahal engkau masih ingusan dan Bocah?”
“Allah Ta’ala tidaklah meletakkan kemulian dan keluhuran pada sorban-sorban besar, baju mewah, lengan baju yang lebar, tetapi Dia meletakkannya bagi para ‘ulama. ” Bantah Abu Hanifah.
“Apakah engkau yang akan menjawab pertanyaanku, wahai bocah?” tanya Ad-Dahri dengan nada meremehkan.
“Ya, aku akan menjawabnya dengan pertolongan Allah Ta’ala. ” Jawab Abu Hanifah.
Setelah itu Ad-Dahri bertanya, “Apakah Allah itu ada?”
Abu Hanifah: “Ya ada.”
Ad-Dahri: “Dimana Dia?”
Abu Hanifah : “Tidak ada tempat tertentu bagiNya, hanya Dialah Yang Maha Tahu.”
Ad-Dahri: “Bagaimana mungkin Dia ada, tetapi tidak bertempat tinggal?”
Abu Hanifah : “Jawaban pertanyaanmu ini ada di badanmu sendiri.”
Ad-Dahri: “Apa itu….tunjukkan padaku!”
Abu Hanifah : “Apakah di dalam tubuhmu ada ruhnya?”
Ad-Dahri: “Ya…ya tentu ada.”
Abu Hanifah : “Dimanakah ruhmu? Apakah di kepalamu? Atau di perutmu? ataukah di kakimu?”
Ad-Dahri: ???!!!!! (kebingungan)
Kemudian Abu Hanifah minta diambilkan segelas susu, ia memegang segelas susu itu lalu bertanya kepada Ad-Dahri: “Apakah di dalam susu ini ada lemaknya?”
Ad-Dahri: “Ya, jelas ada.”
Abu Hanifah : “Dimana letaknya, di bagian atas atau di bawahnya?”
Ad-Dahri: ???!!!! (kebingungan)
Abu Hanifah : “Sebagaimana tidak diketahui tempatnya ruh pada badan, juga tempatnya lemak pada susu, demikian juga tidak diketahui tempatnya Allah Ta’ala di alam semesta ini, hanya Dialah Yang Maha Tahu.”
Ad-Dahri: “Baiklah, masih ada lagi. Apa yang ada sebelum Allah dan apa yang ada setelah Allah?”
Abu Hanifah : “Tidak ada sesuatupun sebelumNya dan tidak ada pula sesudahNya, Dialah Yang Maha Awal dan Akhir!”
Ad-Dahri: “Bagaimana bisa dibayangkan, Dia ada tetapi tidak ada yang mengawaliNya dan tidak ada yang mengakhiriNya?”
Abu Hanifah : “Jawabannya juga ada di badanmu sendiri.”
Ad-Dahri: “Hah…, apa itu?”
Abu Hanifah : “Coba tunjukkan telapak tanganmu!” Ad-Dahri pun menunjukkan telapak tangannya dengan penasaran.
Abu Hanifah : “Katakan! Apa sebelum ibu jarimu dan apa setelah jari kelingkingmu?”
Ad-Dahri: “Tidak ada apapun sebelum ibu jariku dan tidak ada apapun setelah jari kelingkingku.”
Abu Hanifah “Demikian juga Allah Ta’ala, tidak ada apapun sebelumNya, dan tidak ada apapun setelahNya.”
Ad-Dahri: “Jangan bangga dulu hai bocah, masih ada satu pertanyaan lagi dan kamu pasti tidak bisa menjawabnya.” Abu Hanifah : “Insya Allah, saya akan menjawabnya.”
Ad-Dahri: “Apa yang dilakukan oleh Allah sekarang ini?”
Abu Hanifah : ……. (diam sejenak)
Ad-Dahri: “Ha….ha…, kenapa diam? Tentu  kamu bingung ya!”
Abu Hanifah : “Sebentar, anda ini tidak sopan! Seharusnya orang yang menjawab berada di atas mimbar, dan yang bertanya di bawahnya. Turunlah! Saya akan menjawab pertanyaa jika anda turun!”
Akhirnya Ad-Dahri pun turun dari mimbar, setelah itu Abu Hanifah RA naik ke atas mimbar. Ketika ia duduk, Ad-Dahri kembali bertanya: “Ayo sekarang jawab pertanyaanku!” desaknya.
Abu Hanifah “Yang dilakukan oleh Allah Ta’ala sekarang adalah menurunkan ahli batil seperti kamu, dari atas ke bawah dan menaikkan ahli haq (saya) dari bawah ke atas”
Penduduk Baghdad: “Allahu Akbar….Allahu Akbar…!”

Antara kulit dan Isi

Di suatu masa dahulu, terdapat seorang alim ulama yang tersohor karena ilmu dan amalannya. Beliau adalah seorang penghafal Al-Quran dan juga penghafal beribu – ribu hadits sahih semenjak kecil. Dan semenjak kecil, beliau telah dikirim oleh kedua orangtuanya untuk menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama berpuluh tahun lamanya. Ayahnya juga adalah seorang alim ulama yang pernah mengembangkan agama Islam sampai ke negara selatan Siam.
Ceritanya, ayahnya adalah orang pertama di zaman modern ini yang bukan dari warga Arab Saudi yang diberi penghargaan menjadi imam shalat fardhu di Masjidil Haram, Mekkah. Pada suatu masa, alim ulama tersebut telah jatuh sakit lalu tidak bisa menjadi imam shalat fardhu di suraunya.
Maka tiba – tiba datanglah seorang yang berpakaian buruk sesaat sebelum shalat fardhu dilaksanakan. Alim ulama tersebut telah meminta supaya orang yang berpakaian buruk tersebut untuk menggantikannya menjadi imam. Setelah shalat fardhu selesai, maka orang yang berpakaian buruk tersebut telah memohon untuk mengundurkan diri.
Kelihatan senyuman terukir pada wajah murid – murid alim ulama tersebut karena semasa sembahyang fardhu tadi, orang yang berpakaian buruk tersebut tidak membaca surah fatihah dan surah yang lain dengan tajwid yang betul.
Mereka tidak biasa dengan keadaan seperti itu karena guru mereka, yaitu alim ulama tersebut, adalah seorang yang fasih dalam berbahasa arab serta mempunyai bacaan tajwid yang sungguh baik sekali (maklumlah seorang al-hafiz dan sudah berpuluh tahun belajar di Mekkah).
Alim ulama tersebut bersalaman dan berpelukan dengan orang yang berpakaian buruk tersebut sebelum orang yang berpakaian buruk meninggalkan surau. Setelah itu, alim ulama memanggil seluruh muridnya berkumpul di hadapannya lalu beliau bercerita :
Pernah terjadi di suatu kampung di Timur Tengah dimana terdapat seorang pengembala kambing yang sangat alim, sangat suka merendahkan diri dan suka menolong penduduk kampung sekiranya dimintai pertolongan. Yang aneh, jumlah kambing di dalam kandang sederhana yang besar itu tidak pernah berkurang walau banyak orang datang untuk membeli kambing daripadanya. Belilah seratus ekor sekalipun, setelah kambing-kambing tersebut di bawa keluar dari kandang, yang tinggal di dalam kandang tetap kelihatan sama banyak bilangannya seperti sebelum seratus ekor dibawa keluar dari kandang.
Maka seluruh alim ulama dan penduduk kampung telah beranggapan bahwa pengembala kambing tersebut adalah seorang Wali Allah dan mereka telah bermufakat untuk pergi berjumpa dengan pengembala kambing tersebut dan memohon supaya dia menjadi imam shalat di masjid karena mereka ingin mengambil berkat menjadi makmum kepada pengembala kambing tersebut.
Hasrat mereka telah disetujui oleh pengembala kambing. Sembahyang pun di laksanakan di masjid, dan pengembala kambing telah menjadi imam. Malangnya, semasa membaca surah Al-Fatihah dan surah berikutnya, bacaan beliau tidak sempurna tajwidnya. Maka setelah selesai sembahyang, seluruh penduduk kampung telah pulang ke rumah masing – masing sambil tertawa terbahak – bahak karena mereka berfikiran bahwa tanggapan mereka terhadap pengembala kambing sebelum ini sebagai Wali Allah telah jauh meleset.
Pada malam tersebut, seluruh alim ulama penduduk kampung telah bermimpi, dan mereka mendapat mimpi yang sama. Datang seorang lelaki yang tinggi dan tampan di dalam mimpi mereka dan lelaki tersebut telah mengatakan bahawa seumur hidup mereka bersembahyang, itulah baru kali pertamanya sembahyang mereka telah diterima Allah. Subhaanallaah.
Keesokan harinya, semua alim ulama dan penduduk kampung berkumpul di masjid untuk menunaikan sembahyang subuh dan setelah selesai sembahyang subuh mereka terus menuju ke kandang pengembala kambing. Malangnya, pengembala kambing telah tiada, kandang dan kambingnyapun telah tiada. Bekas kandangpun tiada, seolah – olah kandang kambing tidak pernah wujud!
Setelah selesai menceritakan kisah pengembala kambing, maka kebanyakan anak muridnya telah menangis karena mereka tahu mereka telah membuat kesalahan karena telah mendahului Allah dengan merendahkan amalan makhluk Allah yang lain, sedangkan mereka sendiri tidak tahu akan kedudukan mereka di sisi Allah.
Allah Ta’ala telah berfirman yang bermaksud :

32.  (yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunanNya. dan dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.

18.  Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

lima perkara aneh




"Abu Laits as-Samarqandi adalah seorang ahli fiqh yang masyhur. Suatu ketika dia pernah berkata, ayahku menceritakan bahawa antara Nabi-nabi yang bukan Rasul ada menerima wahyu dalam bentuk mimpi dan ada yang hanya mendengar suara. Maka salah seorang Nabi yang menerima wahyu melalui mimpi itu, pada suatu malam bermimpi diperintahkan yang berbunyi, "Esok engkau dikehendaki keluar dari rumah pada waktu pagi menghala ke barat. Engkau dikehendaki berbuat, pertama; apa yang engkau lihat (hadapi) maka makanlah, kedua; engkau sembunyikan, ketiga; engkau terimalah, keempat; jangan engkau putuskan harapan, yang kelima; larilah engkau daripadanya."

Pada keesokan harinya, Nabi itu pun keluar dari rumahnya menuju ke barat dan kebetulan yang pertama dihadapinya ialah sebuah bukit besar berwarna hitam. Nabi itu kebingungan sambil berkata, "Aku  diperintahkan memakan perkara pertama yang aku hadapi, tapi sungguh aneh sesuatu yang mustahil yang tidak dapat dilaksanakan." Maka Nabi itu terus berjalan menuju ke bukit itu dengan hasrat untuk memakannya. Ketika dia menghampirinya, tiba-tiba bukit itu mengecilkan diri sehingga menjadi sebesar sebuku roti. Maka Nabi itu pun mengambilnya lalu disuapkan ke mulutnya. Bila ditelan terasa sungguh manis bagaikan madu. Dia pun mengucapkan syukur 'Alhamdulillah'.

Kemudian Nabi itu meneruskan perjalanannya lalu bertemu pula dengan sebuah mangkuk emas. Dia teringat akan arahan mimpinya supaya disembunyikan, lantas Nabi itu pun menggali sebuah lubang lalu ditanamkan mangkuk emas itu, kemudian ditinggalkannya. Tiba-tiba mangkuk emas itu terkeluar semula. Nabi itu pun menanamkannya semula sehingga tiga kali berturut-turut. Maka berkatalah Nabi itu, "Aku telah melaksanakan perintahmu." Lalu dia pun meneruskan perjalanannya tanpa disadari oleh Nabi itu yang mangkuk emas itu terkeluar semula dari tempat ia ditanam.

Ketika dia sedang berjalan, tiba-tiba dia ternampak seekor burung helang sedang mengejar seekor burung kecil. Kemudian terdengarlah burung kecil itu berkata, "Wahai Nabi Allah, tolonglah aku." Mendengar rayuan burung itu, hatinya merasa simpati lalu dia pun mengambil burung itu dan dimasukkan ke dalam bajunya. Melihatkan keadaan itu, lantas burung helang itu pun datang menghampiri Nabi itu sambil berkata, "Wahai Nabi Allah, aku sangat lapar dan aku mengejar burung itu sejak pagi tadi. Oleh itu janganlah engkau patahkan harapanku dari rezekiku."

Nabi itu teringatkan pesanan arahan dalam mimpinya yang keempat, iaitu tidak boleh putuskan harapan. Dia menjadi kebingungan untuk menyelesaikan perkara itu. Akhirnya dia membuat keputusan untuk mengambil pedangnya lalu memotong sedikit daging pehanya dan diberikan kepada helang itu. Setelah mendapat daging itu, helang pun terbang dan burung kecil tadi dilepaskan dari dalam bajunya. Selepas kejadian itu, Nabi meneruskan perjalannya.

Tidak lama kemudian dia bertemu dengan satu bangkai yang amat busuk baunya, maka dia pun bergegas lari dari situ kerana tidak tahan menghidu bau yang menyakitkan hidungnya. Setelah menemui kelima-lima peristiwa itu, maka kembalilah Nabi ke rumahnya. Pada malam itu, Nabi pun berdoa. Dalam doanya dia berkata, "Ya Allah, aku telah pun melaksanakan perintah-Mu sebagaimana yang diberitahu di dalam mimpiku, maka jelaskanlah kepadaku erti semuanya ini."

Dalam mimpi beliau telah diberitahu oleh Allah S.W.T. bahwa, "Yang pertama engkau makan itu ialah marah. Pada mulanya nampak besar seperti bukit tetapi pada akhirnya jika bersabar dan dapat mengawal serta menahannya, maka marah itu pun akan menjadi lebih manis daripada madu.
Kedua; semua amal kebaikan (budi), walaupun disembunyikan, maka ia tetap akan nampak jua. Ketiga; jika sudah menerima amanah seseorang, maka janganlah kamu khianat kepadanya. Keempat; jika orang meminta kepadamu, maka usahakanlah untuknya demi membantu kepadanya meskipun kau sendiri berhajat. Kelima; bau yang busuk itu ialah ghibah (menceritakan hal seseorang). Maka larilah dari orang-orang yang sedang duduk berkumpul membuat ghibah."

Kelima-lima kisah ini hendaklah kita semaikan dalam diri kita, sebab kelima-lima perkara ini sentiasa saja berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Perkara yang tidak dapat kita elakkan setiap hari ialah mengata hal orang, memang menjadi tabiat seseorang itu suka mengata hal orang lain. Haruslah kita ingat bahwa kata-mengata hal seseorang itu akan menghilangkan pahala kita, sebab ada sebuah hadis mengatakan di akhirat nanti ada seorang hamba Allah akan terkejut melihat pahala yang tidak pernah dikerjakannya. Lalu dia bertanya, "Wahai Allah, sesungguhnya pahala yang Kamu berikan ini tidak pernah aku kerjakan di dunia dulu." Maka berkata Allah S.W.T., "Ini adalah pahala orang yang mengata-ngata tentang dirimu." Dengan ini haruslah kita sedar bahwa walaupun apa yang kita kata itu memang benar, tetapi kata-mengata itu akan merugikan diri kita sendiri. Oleh kerana itu, hendaklah kita jangan mengata hal orang walaupun ia benar."