Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
Rukun-rukun (sendi-sendi) tarekat ada empat: Lapar, mengasingkan diri
dari makhluk (uzlah), tidak tidur di malam hari, dan mempersedikit
pembicaraan. Bila seorang murid mampu menahan lapar, maka tiga poin
berikutnya secara khusus akan mengikuti. Sebab orang yang lapar akan
sedikit berbicara, tahan tidak tidur di malam hari dan senang
menghindarkan diri dari orang. Mereka mengungkapkan sendi-sendi dasar
tersebut dalam bentuk bait syair:
[I]Para tuan mulia dari kaum abdal kami
telah membagi rumah kewalian menjadi beberapa sendi:
antara diam dan selalu mengasingkan diri, lapar dan tidak tidur, adalah pilihan yang tertinggi.[/I]
Abu al-Qasim al-Qusyairi —rahimahullah— mengatakan: “Sesungguhnya dasar
utama pintu menuju tarekat adalah lapar. Sebab mereka tidak akan
mendapatkan sumber hikmah kecuali dengan lapar.” Mereka secara bertahap
mengurangi makan sedikit demi sedikit, sampai akhirnya hanya sesuap
dalam setiap harinya. Sebagian dari mereka ada yang hanya satu biji
kurma kering atau anggur kering. Sementara itu Abu Utsman al-Maghribi
makan setiap enam bulan sekali. Syekh Muhyiddin Ibnu al-Arabi mengatakan
dalam al-Futuhat al-Makkiyyah: “Sebagaimana cerita yang telah sampai
pada kami, bahwa Allah Swt. ketika menciptakan nafsu, maka Dia bertanya
kepadanya, ‘SiapaAku ini?’ Maka nafsu menjawab, ‘Lalu siapa aku ini?’
Akhirnya ia ditempatkan dalam lautan kelaparan selama empat ribu tahun,
kemudian Allah bertanya kembali, ‘Siapa Aku?‘ Ia baru sadar dan mengakui
Tuhannya sembari menjawab, ‘Engkau adalah Tuhanku’.”
Sahl bin Abdullah at-Tustari tidak akan makan kecuali setelah lima belas
hari. Dan ketika masuk bulan Ramadan, ia tidak makan sebelum melihat
bulan sabit satu Syawal. Setiap malam bulan Ramadan ia hanya berbuka
dengan air agar bisa keluar dari larangan menyambung (wishal) puasa. Ia
pernah berkata: “Ketika Allah menciptakan dunia, Dia menjadikan ilmu dan
hikmah berada dalam kelaparan, dan menjadikan kebodohan dan maksiat
berada dalam kekenyangan.” Ketika dalam kondisi lapar ia menjadi kuat,
dan ketika dalam kondisi kenyang ia menjadi lemah tak berdaya.
Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Kunci dunia adalah kekenyangan, dan
kunci akhirat adalah kelaparan.” Yakni kegiatan masing-masing.
Yahya bin Mu’adz ar-Razi berkata: “Kekenyangan adalah api, sedangkan
syahwat (kesenangan) ibarat kayu bakar. Dari situ akan muncul kebakaran,
dan apinya tidak bisa padam sehingga yang bersangkutan ikut terbakar.”
Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Barangsiapa ingin makan setiap
harinya dua kali maka hendaknya membangun tempat makanan untuknya.”
Malik bin Dinar —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa ingin agar setan
lari dari bayang-bayangnya maka hendaknya memaksa syahwatnya.” Sementara
itu ucapan-ucapan para salaf seperti itu cukup banyak. — Dan hanya
Allah Yang Mahatahu.
Diantara perilaku yang harus dilakukan munid, hendaknya selalu berpegang
teguh dengan adab (kesopanan) ketika berhadapan dengan Allah, ketika
bersama para wali Allah dan saudara-saudaranya. Jangan sampai memberikan
kesempatan sama sekali kepada nafsu (diri)nya untuk berbuat yang
menyalahi kesopanan (su‘ul-adab).
Abu Ali ad-Daqqaq —rahimahullah— berkata: “Seorang hamba dengan
ibadahnya bisa sampai ke surga, tapi ia tidak bisa sampai ke hadirat
Tuhannya kecuali beradab ketika sedang beribadah. Barangsiapa tidak bisa
memelihara adab dalam ketaatannya maka ia akan terhalang dari Tuhannya
oleh tujuh puluh lapis penghalang (hijab).” Ad-Daqqaq tidak pernah
bersandar pada apa pun seperti bantal atau dinding kecuali dalam kondisi
sangat darurat, dimana ia pernah mengemukakan tentang apa yang ia
lakukan itu, “Bahwa bersandar pada sesuatu merupakan tindakan yang tidak
sopan.”
Abdullah bin al-Jalla’ berkata: “Barangsiapa tidak memiliki adab
(kesopanan) maka ia tidak memiliki syariat, tidak punya iman dan
tauhid.” Yakni secara sempurna.
Ibnu ‘Atha’ berkata: “Seorang murid belum dikatakan beradab sehingga ia
merasa malu kepada Allah untuk duduk berselonjor di depan-Nya, baik di
waktu malam maupun siang hari.”
Al-Hanizi mengatakan: “Aku tidak pernah duduk berkhalwat (menyendiri)
dengan duduk berselonjor selama dua puluh tahun.” Ia juga berkata: “Adab
secara syariat bersama Allah Swt. dalam segala perkara tentunya lebih
diprioritaskan bagi orang yang berakal. Sementara itu dalam syariat
tidak pernah ada penjelasan secara gamblang tentang adab pada masalah
tersebut.”
Ia juga pernah berkata: “Apabila seseorang bermuamalah dengan para
penguasa dunia tanpa menggunakan adab (kesopanan) akan mengakibatkan
dirinya terbunuh, lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki
kesopanan ketika bersama al-Haq Azza wa Jalla dan berani melanggar apa
yang menjadi larangan-Nya?” Ia juga pernah berkata: “Meninggalkan adab
bisa mengakibatkan terusir. Maka barangsiapa tidak memiliki adab ketika
sedang berada di hamparan tempat duduk maka ia akan diusir menuju ke
pintu, dan barangsiapa tidak memiliki adab ketika sedang di pintu maka
ia akan diusir ke orang-orang yang memelihana binatang ternak”
Imam asy-Syafi’i —rahimahullah— berkata: “Imam Malik —rahimahullah—
pernah berkata kepadaku, ‘Wahai Muhammad, jadikan ilmumu sebagai garam,
dan adabmu sebagai tepungnya’.”
Abdurrahman bin al-Qasim —rahimahullah— berkata: “Aku pernah bersahabat
dengan Imam Malik selama dua puluh tahun, maka dalam rentang waktu
tersebut selama delapan belas tahun ia gunakan untuk mengajar adab,
sedangkan sisanya, dua tahun ia gunakan untuk mengajar ilmu. Maka aku
berharap andaikan dua puluh tahun itu seluruhnya bisa aku gunakan untuk
mengajar adab.”
Asy-Syibli —rahimahullah— berkata: “Diantara ciri-ciri orang-orang yang
berada di hadirat Allah adalah tidak pernah tercebur dalam
ketidaksopanan sekalipun suatu kesenangan. Maka isyarat-isyarat yang
datang dari al-Haq bisa terjadi secara rahasia (sirri) dan
terang-terangan. Sebab hadirat al-Haq Azza wa Jalla adalah hadirat adab,
kebisuan, keagungan dan penuh rasa takut, maka tidak sepantasnya merasa
senang karena tidak sebanding. Bahkan kalau misalnya seorang wali bisa
tinggal di hadirat ini selama usia Nabi Nuh a.s. maka hanya akan
menambah rasa takut sepanjang waktu. Hal itu terjadi karena tajalli
(penampakan Diri) al-Haq Swt. tidak akan terulang. Maka setiap tajalli
yang datang kepada seorang hamba maka yang bersangkutan hanya layak
untuk menunjukkan kesopanan pada hadirat tersebut. Maka pahamilah!”
Abu al-Husain an-Nun —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa tidak beradab dalam setiap waktu maka ia terkutuk”
Dzun-Nun al-Mishri —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa mencari
keringanan untuk meninggalkan adab maka ia akan kembali pada posisi di
mana ia datang pertama kali.”
Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi —rahimahullah— berkata: “Seorang murid
ketika ia masuk ke dalam tarekat, ibarat sebutir benih yang baru akan
tumbuh. Dan ketika ia tercebur pada ketidaksopanan setelah ia masuk maka
ia ibarat sebutir benih yang baru tumbuh separo lalu dilempar sehingga
mati dan tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.” — Dan hanya Allah
Yang Mahatahu..
sufinews