Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 November 2010

Mengundang Tuhan Makan Malam


Pada suatu hari, beberapa orang dari Bani Israil datang menemui Musa as dan berkata, Wahai Musa, bukankah kau boleh bicara dengan Tuhan? Tolong sampaikan pada-Nya, kami ingin mengundang-Nya makan malam.

Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.

Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda,

Mengapa kau tidak menyampaikan kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku? Musa menjawab, Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol seperti itu. Tuhan berkata, Simpan pengetahuanmu antara kau dan Aku. Katakan pada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan itu.

Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.

Orang itu miskin dan kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para koki yang sibuk memasak menolaknya, Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama. Mengapa kamu tidak ikut membantu. Lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!

Mereka tidak memberi apa-apa untuk kakek malang itu. Waktu berlalu tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi amat malu dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya.

Keesokan harinya, Musa pergi ke Gunung Sinai dan berkata, Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku?

Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan Kau akan datang ke jamuan kami, tapi Kau ternyata tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!

Tuhan menjawab, Aku datang. Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi makan kepada-Ku. Tuhan bersabda, Aku, Yang tidak akan boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.

Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik.

Minggu, 31 Oktober 2010

Hati vs Nafs


Jadilah manusia hati,- atau paling tidak menjadi muridnya.
Jika tidak, engkau hanya berjalan di tempat, bagaikan keledai terperangkap lumpur.
Jika tak punya hati, manusia tak punya guna;
Dalam kesengsaraan, ia akan dikenal dunia.


Apabila nafsu telah mencapai tingkat kesempurnaan, dia akan sampai pada tingkat perkembangan hati. Pada kenyataannya, nafsu yang tenang adalah hati yang paling dalam, yang oleh para filosof di sebut sebagai nafsu rasional (nafis al natiqa). Namun demikian, sebagian besar manusia masih berada pada maqam sifat sifat kebendaan (tab'), tingkat nafsu, dan belum memiliki hati.

Hati adalah sebuah tempat antara wilayah Kesatuan (ruh) dan daerah keanekaragaman (nafsu). Jika hati mampu melepaskan selubung nafsu yang melekat padanya dia akan berada di bawah pengaruh ruh; itulah yang dikatakan telah menjadi hati dalam makna yang sebenarnya, telah bersih dari segala kotoran keanekaragarnan. Sebaliknya, jika hati dikuasai oleh nafsu, dia menjadi keruh oleh kotoran keanekaragaman nafsu.

Ruh adalah sumber semua kebaikan, dan nafsu adalah sumber semua kejahatan. Cinta menjadi tentara ruh, dan hasrat membentuk tentara nafsu.
Ruh mewakili keberhasilan melalui Allah, sedangkan nafsu mewakili kegagalan melalui Allah juga. Hati terletak antara keduanya, dan pemenang dari keduanya akan mengendalikan hati.

Bila cinta memanggil hati
untuk datang kepadanya,
Hati akan terbang lepas
dari semua makhluk ciptaan.
(Rumi)


Hati adalah tempat dari semua pengetahuan dan kesempurnaan ruh serta tempat terlihatnya penyingkapan Perwujudan Ketuhanan melalui tingkat Esensi yang berbeda beda. Inilah aspek yang memberinya istilah Arab qalb, yang menunjukkan kedudukan tengah antara nafsu dan ruh. Hati membentuk jembatan antara keduanya, yang mewujudkan kesempurnaan dari kedua tingkat yang mengapitnya, yang mendapatkan karunia dari ruh dan menyebarkannya kepada nafsu.
Cangkir yang menggambarkan dunia
adalah hati dari orang yang sempurna
Cermin yang merefleksikan Allah pada kenyataannya adalah hati yang dalam. (SGR3)

Tanah asal Adam diciptakan terolah dengan embun kasih sayang; akibatnya, ratusan kesengsaraan dan kekacauan terlihat di dunia.
Pisau cinta
menusuk pembuluh ruh.
Setetes yang jatuh,
lahirlah hati
(Majdud Din Baghdad)

Dalam komentarnya tentang Fushush al Hikam, jami' menulis:
"Hati adalah haqiqat yang meliputi haqiqat-haqiqat kejasmaniahan serta indera indera pembentuk fisik di satu sisi, dan haqiqat spiritualitas serta karakter karakter nafsu, di sisi yang lain."

Dalam terminologi Sufi, hati menggambarkan substansi spiritual yang terletak antara ruh dan nafsu, yaitu suatu substansi yang merupakan tempat terwujudnya sifat-sifat kemanusiaan. Para filosof menyebut substansi tersebut dengan nafsu rasional, dan menganggapnya sebagai pelengkap nafsu hewani. (KF 1170)

Dalam wilayah ini,
hati adalah raja;
Pada jalan menuju langit tertinggi,
hati adalah pintunya.
Badan bukanlah apa apa,
esensi seseorang adalah hati;
Penghuni "antara dua jari"
Allah adalah Hati.
Dia mampu berperan
sebagai agama ataupun keingkaran;
Dia dapat berputar dari kebajikan dan keburukan.

Engkau pernah mendengar cerita tentang piala Jamsyid yang sering diceritakan kembali,
Dan dalam cerita itu engkau mendengar sumur yang penuh, sebagai barang yang berharga sekaligus sia sia.
Sadarlah bahwa cangkir Jamsyid itu adalah hatimu sendiri,
Hatimu itulah yang telah membentuk sandaran maupun kesedihan.
Jika engkau mempunyai keinginan untuk melihat dunia,
Engkau bahkan akan mampu melihat semua hal di dalam hatimu.

Semak semak bunga mawar telah ditanam dengan harapan tumbuhnya tunas tunas bunga mawar hati.
Ketika belukar mawar menghasilkan kuncup-kuncup bunga segar mawar hati, terselubung dalam tunas itu kelopak kelopak yang penuh daya cipta, baik partikular ataupun universal.
Indahnya keindahan adalah tanda karunia Nya;
Alam kehidupan ruang dan waktu adalah catatan keanekaragaman Nya.
Alam dan apa yang di dalamnya,
Apa saja yang disebut hikmah yang membentuk dunia Nya
Akan hilang dalam hati, Semuanya kecuali yang setetes
dalam hati, Laut Merah.

Bagaimana engkau dapat mengukur apa yang berada di dalam Allah?
Hati yang terletak di dalam selubung badan yang utama bagi kehidupan dan kematian.
Perwujudan rahasia rahasia ketuhanan dan refleksi cahaya cahayanya,
Terletak tidak di dalam hati jasmani tapi dalam hati yang sesungguhnya.

Andai hati hanyalah sebuah benda dari tanah, maka tak ada perbedaan
Antara hati ini dan hati keledai.
Berapa lama engkau akan merasa bangga dengan benda yang terbuat dari tanah ini?
Keledai juga memiliki bagian tubuh seperti ini.

Siapa saja, yang mirip seekor keledai, bangga dengan bagian tubuh ini,
Telah mengganti sebuah mutiara yang berharga untuk sebuah manik dari tanah.
Engkau harus tunduk, kepada seseorang yang berhati seperti lautan
Andai engkau ingin menemukan hati bagaikan mutiara.
Engkau harus mencari naungan di sisi sang guru,
Andai engkau ingin mendapatkan sebuah hati darinya.
Hatimu adalah telur
dari seekor burung kecil;
Tak ditemukan jejak jejak perpindahan,
dari penerbangan yang berasal dari dalamnya.
Untuk mendorongnya, membuatnya bisa terbang,
Berikanlah telur itu kepada sang guru, yang akan menetaskannya.


Sumber : Dr. Javad Nurbakhsy

Kisah Wali di bulan Rajab


Perhatikanlah rahmat Allah yang turun di bulan ini. Jika kalian melakukan kesalahan, jangan melarikan diri, tetapi datanglah kepada Tuhanmu karena Dia akan mengampunimu. Ini sangat penting karena tidak seorang pun yang tahu apa yang akan diberikan Allah kepada hamba-Nya—bahkan kedua malaikat yang ditugaskan untuk mencatat seluruh amal perbuatan di pundak manusia juga tidak mengetahuinya. Di bulan ini segalanya berasal dari Allah dan tidak ada yang tahu balasan Allah atas setiap perbuatan terkecil dalam rangka ibadah kepada-Nya.

Di masa Rasulullah , hidup seseorang perampok jalanan yang bernama Qowd [?] al-‘Abbas [?]. Di malam hari dia pergi ke jalan dan bila menemukan seseorang yang berjalan sendirian, dia akan menangkap dan merampoknya, kadang-kadang dia melukai dan membunuhnya, setelah itu dia kembali lagi ke rumahnya.
Tidak seorang pun sanggup menangkapnya. Rasulullah pernah mengutuk orang ini dengan mengatakan bahwa dia adalah orang yang sangat jahat, sehingga bila dia meninggal, beliau tidak akan menshalatkan dan menguburkannya di pemakaman Muslim.

Beberapa tahun kemudian orang itu meninggal dunia. Dia mempunyai seorang anak perempuan tetapi tidak ada orang lain yang bisa mengurus jasadnya. Karena Rasulullah telah mengutuknya, maka anak itu membawa tubuh ayahnya di sepanjang jalan di Madinah dan melemparkannya ke dalam sumur yang kering. Beberapa saat kemudian Allah berfirman kepada Rasulullah , “Ya Habibi ya Muhammad! Wahai Rasulku yang tercinta, hari ini salah satu waliku meninggal dunia. Engkau harus pergi memandikan dan membersihkannya, lalu mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya. Rasulullah menjadi heran karena selama hidupnya orang itu telah dikutuknya, tetapi sekarang ketika dia meninggal, Allah mengatakan bahwa dia adalah seorang Wali. Bagaimana mungkin? Tetapi tak seorang pun yang bisa menggugat Pengetahuan Allah , bahkan Rasulullah pun tidak. Jika Allah ingin menjadikan seorang perampok sebagai Wali, tak ada yang bisa mengatakan ‘mengapa?’ Semua harus menerimanya. Itulah sebabnya, menurut ajaran Sufi dan ajaran thariqat Naqsybandi, kalian harus memandang orang lain lebih baik dari dirimu.

Sumber : Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani
dalam Mercy Oceans Secrets of the Heart

ceriat tentang imam Abu Yazid Al Busthomi


Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insha’allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang pelajar yang juga memiliki murid yang banyak. Pelajar itu juga menjadi guru bagi jamaahnya sendiri. Kerana telah memiliki murid, pelajar ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”

Murid itu hairan, “Mengapa, ya Tuan Guru?”

“Kerana kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.

“Bolehkah kau ubati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.

“Boleh,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.”

“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.

“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu”. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mahu menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”

“Subhanallah, masha’allah, lailahailallah“, kata murid itu terkejut.

Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”

Murid itu keheranan, “Mengapa boleh begitu?”

Bayazid menjawab, “Kerana kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan Maha Suci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”

“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”

Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahawa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi kerana takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derjat yang serendah-rendahnya.

Takabur dapat terjadi kerana amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita boleh mencapai hadirat Allah swt.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat ku pegang teguh?” Nabi menjawab, “Katakanlah, Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu.”

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai pelaburan.

Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majlis dan diberi tempat duduk yang paling utama.



Kepala Ikan untuk Nelayan


Seorang nelayan salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia
melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil
tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus
sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun
menjadi seorang syaikh seperti gurunya.

Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu
memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan
nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.


Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat
tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri
di puncak suatu bukit. "Itulah rumah Syaikh," ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya
sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang
perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan
kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa
pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya
kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru
sufi.

Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang
disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah
itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para
pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang
terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi
sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah
arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari
tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia
yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan
surban yang lazim dipakai para sultan.


Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan
gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia
menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, "Katakanlah pada
gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia."
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia
sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang
telah menemuinya. "Lalu," tanya nelayan itu, "apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?"
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas
mengingat betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya
kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan
oleh Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan,
bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia
terlalu terikat kepada dunia.
"Dia benar," jawab sang nelayan, "ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya.
Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja
itu seekor ikan yang utuh.

"Mati" sebelum Kau Mati


 



Kau sudah banyak menderita
Tetapi kau masih terbalut tirai’
Karena kematian adalah pokok segala
Dan kau belum memenuhinya
Deritamu tak kan habis sebelum kau ‘Mati’

Kau tak kan meraih atap tanpa menyelesaikan anak tangga
Ketika dua dari seratus anak tangga hilangKau terlarang menginjak atap
Bila tali kehilangan satu elo dari seratus
Kau tak kan mampu memasukkan air sumur ke dalam timba
Hai Amir, kau tak kan dapat menghancurkan perahu
Sebelum kau letakan “mann” terakhir…

Perahu yang sudah hancur berpuing-puingAkan menjadi matahari di Lazuardi
Karena kau belum ‘Mati’,
Maka deritamu berkepanjangan
Hai Lilin dari Tiraz, padamkan dirimu di waktu fajar
Ketahuilah mentari dunia akan tersembunyi
Sebelum gemintang bersembunyi
Arahkan tombakmu pada dirimu
Lalu ‘Hancurkan’lah dirimu

Karena mata jasadmu seperti kapas di telingamu…
Wahai mereka yang memiliki ketulusan…
Jika ingin terbuka ‘tirai’Pilihlah ‘Kematian’ dan sobekkan ‘tirai’
Bukanlah karena ‘Kematian’ itu kau akan masuk ke kuburan
Akan tetapi karena ‘Kematian’ adalah Perubahan
Untuk masuk ke dalam Cahaya…
Ketika manusia menjadi dewasa, matilah masa kecilnya
Ketika menjadi Rumi, lepaslah celupan Habsyi-nya
Ketika tanah menjadi emas, tak tersisa lagi tembikar
Ketika derita menjadi bahagia, tak tersisa lagi duri nestapa…


~ Jalaluddin Rumi ~

salahkah Al Hallaj...


 

Salahkah al Hallaj yang hanya mengungkapkan kerinduan dirinya kepada Tuhan.. haruskah dia dihukum mati karena kefanaanya...
berikut adalah sedikit pernyataan al hallaj :


Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan yang lain.
Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.
Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.


Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.
Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa darusi kesenjangan.
Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.
Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid. Sedangkan substansinya.

 

SEJARAHNYA
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.
Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.
Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.
Setidak-tidaknya ada tiga kelomp0k besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:

Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.

Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filsuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.

Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.
Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya: “Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas.

Lalu tubuhnya dibakar dengan api.Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “

Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan benar.

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”


@Wong Alus

suatu petang di Andulisty

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. 
Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika algojo penjara itu melintasi di hadapan mereka. 
 
Kerana kalau tidak, sepatu boot keras milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyunya.
 
Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahananyang keriput hanya tinggal tulang.

Tak puas sampai di situ, ia alu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata "Rabbi, wa ana abduka... " Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
"Bersabarlah wahai ustaz... InsyaALLAH tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus.

Anda telah membuat aku benci dan geram dengan suara-suara yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah.

Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah.

Ketika
itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah buku kecil. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat. "Berikan buku itu, hai lelaki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus.

Bahkan algojo penjara itu merasa lebih puas lagi ketika melihat titisan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."
Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.

Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini.

Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat
pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid
semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.

Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi... "

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih. "Hah... siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar.

Tiba-tiba "Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai budak... ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang Adolf Roberto... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu."

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu.

Ketika ia menemukan sebuah tanda hitam ia berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... " Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai tanda hitam pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... " Terdengar suara Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah... . Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya... "

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALlah, tetaplah atas fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah ALlah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)

berhentilah jadi gelas

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”

Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.
“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
 
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam.

Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya qalbu yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”
: : : : : : :
“Berkata (Musa), “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,” (25)
“Dan mudahkanlah untukku urusanku.” (26).

[Q.S. 20 : 25 - 26]
“Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” [Q.S. 2 :286)

jauh lebih baik dari sup kaldu sayuran, Rumi tentang puasa

lute
Ada kebahagiaan rahasia bersama perut yang kosong.
Kita cuma alat musik petik, tak lebih, tak kurang.
Kotak suara penuh, musik pun hilang.

Bakar habis segala yang mengisi kepala dan perut
dengan menahan lapar, maka setiap saat
irama baru akan keluar dari api kelaparan yang nyala berkobar.
Ketika hijab habis terbakar, keperkasaan baru akan membuatmu melejit
berlari mendaki setiap anak tangga di depanmu yang digelar.
Jadilah kosong,
lalu merataplah
seperti indahnya ratapan bambu seruling yang ditiup pembuatnya.
Lebih kosong,
jadilah bambu yang menjadi pena (*1),
tulislah banyak rahasia-Nya.

Ketika makan dan minum memenuhimu, iblis duduk
di singgasana tempat jiwamu semestinya duduk:
sebuah berhala buruk dari logam duduk di Ka’bah.
Ketika kau berpuasa menahan lapar, sifat-sifat baik
mengerumunimu bagai para sahabat yang ingin membantu.

Puasa adalah cincin Sulaiman (*2). Jangan melepasnya
demi segelintir kepalsuan, hingga kau hilang kekuasaan.

Namun andai pun kau telah melakukannya, sehingga
seluruh kemampuan dan kekuatan hilang darimu,
berpuasalah: mereka akan datang lagi kepadamu,
bagai pasukan yang muncul begitu saja dari tanah,


dengan bendera dan panji-panji yang berkibaran megah.
Sebuah meja akan diturunkan dari langit ke dalam tenda puasamu,
meja makan Isa (*3). Berharaplah memperolehnya,
karena meja ini dipenuhi hidangan lain,
yang jauh, jauh lebih baik dari sekedar sup kaldu sayuran.
(Jalaluddin Rumi, terjemahan Bahasa Indonesia oleh Herry Mardian)

: : : : : : : : :
Keterangan:
(1) Kitab-kitab suci ditulis dengan pena bambu dan pena alang-alang yang dicelup ke dalam tinta.

(2) “Cincin Sulaiman” konon adalah sumber kekuasaan. Legenda mengatakan, ‘barangsiapa yang mengenakan cincin Nabi Sulaiman, ia akan memperoleh kekuasaan’. Sebenarnya “cincin Sulaiman” adalah cincin tembaga atau besi murahan yang diukir dengan kata-kata “Ini pun akan berlalu”. Jika beliau merasa senang, ia menyadari bahwa kesenangannya adalah sementara sehingga ia menjadi sabar.

Demikian pula, jika beliau merasa sedih, dengan melihat ke cincinnya ia menyadari bahwa kesedihannya bersifat sementara sehingga ia juga menjadi sabar dan ridha. “Cincin Sulaiman”, yang barangsiapa memilikinya konon akan memperoleh kekuasaan besar, adalah kesabaran.

(3) “Meja Isa” adalah meja tempat Nabi Isa makan bersama para murid-muridnya dan menjamu mereka, setelah beliau dibangkitkan dari kematian.

jadilah pohan yang berbuah, dalam nasehat nabi Isa


Berkumpulah para murid di sekeliling Nabi Isa as., mereka kembali dengan membawa bakul yang dengan qadar Allah telah terisi penuh buah-buah kurma yang baru masak. Setelah mereka bersembahyang tengah hari, mereka makan bersama sang Nabi.

Dan ketika mereka melihat Barnabas (juru tulis sang Nabi) bermuram muka, maka bangkitlah rasa takut dalam dada para murid, mereka mulai mencurigai jangan-jangan kebersamaan mereka dengan sang Nabi sudah tidak akan lama lagi.

Dari itu Nabi Isa as. menghibur para muridnya, sabdanya:
“Janganlah kalian takut, karena hingga kini saat kepergianku dari kalian semua belumlah tiba, dan aku masih akan berada diantara kalian dalam sedikit waktu lagi.

Karena itu, harus kuwasiatkan kepada kalian sekarang, sebagaimana telah aku sampaikan ke seluruh khalayak Israel, bahwa kalian harus mewartakan tentang taubat, agar Allah merahmati dosa-dosa Israel.

Dan hendaknya setiap orang agar berhati-hati dengan sifat malas, karena setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik akan dipotong dan akan dilemparkan ke dalam api pembakaran!

Sebuah perumpamaan, ada seorang pribumi yang memiliki lahan tanaman anggur, di tengah-tengahnya ada kebun kurma dan balsan yang di dalamnya ada sebuah pohon Tin.

Maka ketika sang pemilik kebun melihat bahwa pohon Tin tersebut sudah tiga tahun tidak menghasilkan buah, berkatalah ia kepada tukang kebunnya, “Tebanglah pohon yang busuk ini, karena memberatkan kepada tanah!”. Lalu tukang kebun menjawab, “Janganlah begitu ya tuanku, karena pohon ini sungguh indah!”

Dijawablah oleh sang pemilik tanah, “Diamlah, bagiku tidak ada perlunya keindahan tanpa faidah! Dan engkau harus mengetahui bahwa pokok kurma dan balsan itu lebih indah dari Tin!

Ketahuilah, dahulu aku pernah menanam cangkokan dari pokok kurma dan balsan di tengah-tengah halaman rumahku, kemudian kedua pohon tersebut aku kitari dengan pagar yang mahal. 

Akan tetapi, ketika kedua pohon itu tidak menghasilkan buah dan hanya tumpukan daun-daun semata yang merusak tanah di depan rumah, maka aku perintahkan kedua pohon itu untuk dipindahkan! 

Apakah bisa aku maafkan sebuah pohon Tin yang jauh dari rumahku, yang memberatkan tanah kebun dan tanaman anggurku, dimana semua pohon yang lain menghasilkan buah. Sungguh aku tidak dapat membiarkan pokok pohon ini lagi!”

Lalu tukang kebun itu menjawab, “Wahai tuan, sebenarnya tanah ini subur sekali, oleh karena itu tunggulah setahun lagi. Aku akan pangkasi dahan-dahan pokok Tin ini, akan aku hilangkan darinya tanah yang terabuk, dan akan kuberi tanah yang kering dan batu-batu supaya ia berbuah”

Pemilik tanah menjawab, “Cobalah kerjakan itu, dan aku akan menunggu pokok pohon Tin ini berbuah”
Nabi Isa as. bertanya kepada para muridnya: “Pahamkah kalian dengan perumpamaan tersebut?”.

Para murid menjawab, “Tidak tuan, cobalah tafsirkan untuk kami”
Nabi Isa as. menjawab: “Ketahuilah oleh kalian, bahwa sang pemilik tanah itu adalah Allah, sedangkan tukang kebunnya itu adalah syariat-Nya!

Di sisi Allah, di surga, ada pokok pohon kurma dan pohon balsan, pokok kurma itu adalah setan dan pokok balsan itu adalah sang manusia pertama. Kemudian diusirlah keduanya, karena keduanya tidak menghasilkan buah berupa amal-amal saleh, bahkan keduanya mengucapkan kata-kata yang tidak baik dimana menjadi membawa hukuman atas para malaikat dan banyak manusia!

Dan oleh karena Allah telah menempatkan manusia di tengah-tengah para mahluk-Nya, yang kesemua ciptaan-Nya itu bertasbih memuji-Nya menurut titah-Nya, maka jika manusia itu tidak membuahkan sesuatu, Allah akan memotongnya dan melemparkannya ke neraka!

Karena Dia tidak memaafkan kepada sosok malaikat dan manusia pertama itu, Dia melaknat si malaikat itu untuk selama-lamanya, tetapi kepada si manusia hanya untuk sementara.

Maka berkatalah syariat Allah, bahwa bagi si manusia tersebut dalam kehidupan ini telah disediakan bermacam-macam rizqi yang lebih dari cukup, melampaui sekedar kebutuhannya. Karena itu, ia harus tahan dalam menerima derita penempaan dan menjauhkan diri dari kelezatan-kelezatan duniawi, agar ia berbuah amalan yang saleh!

Maka atas dasar itulah Allah memberikan kepada manusia kesempatan untuk bertobat. Aku katakan kepada kalian, bahwa Allah telah mewajibkan atas manusia untuk bekerja demi mencapai suatu tujuan seperti yang pernah dikemukakan oleh Ayub, Nabi dan kekasih Allah: ‘Sesungguhnya burung itu dilahirkan untuk terbang, ikan itu untuk berenang, demikian juga manusia ini dilahirkan untuk bekerja!’

Dan telah berkata pula bapak kita, Nabi Allah, Dawud: ‘Apabila kita makan dari buah kerja tangan kita, akan diberkatilah kita, dan menjadi baik bagi tubuh’. Untuk tujuan ini, maka setiap orang harus bekerja menurut bakatnya masing-masing!

Wahai, cobalah kalian katakan kepadaku, jika bapak kita Dawud dan anaknya Sulaiman telah bekerja keras dengan kedua tangan mereka sendiri, apakah yang seharusnya diperbuat oleh seorang yang berdosa ini?”.

Yahya menjawab, “Ya guru, sebenarnya amal itu adalah sesuatu yang baik, akan tetapi kaum fakirlah yang harus melaksanakannya’. Nabi Isa as. menjawab: “Ya, karena mereka tidak bisa berbuat yang lain dari selain itu. Akan tetapi tidakkah engkau ketahui wahai Yahya, bahwa untuk menjadi lebih saleh, maka seorang yang saleh itu harus dapat membebaskan dirinya dari segala kebutuhan.

Matahari dan bintang-bintang yang lain itu menjadi kuat karena memakan perintah Allah, sehingga mereka tidak dapat berbuat dari selain yang diperintahkan itu, maka tiadalah bagi mereka itu suatu kelebihan.

Katakanlah kepadaku, tatkala Allah memerintahkan untuk bekerja, apakah Allah berfirman: ‘Seorang fakir itu harus makan dari keringat dahinya?’. Atau apakah Ayub mengatakan: ‘Sebagaimana burung itu dilahirkan untuk terbang, maka demikian pula dengan si fakir, ia dilahirkan untuk bekerja?’

Tidak, tetapi Allah telah memfirmankannya untuk seluruh manusia: ‘Dengan keringat di wajahmu, engkau akan makan rotimu!’

Dan Ayub (as.) berkata: ‘Bahwa manusia itu dilahirkan untuk bekerja!’
Atas dasar itulah, maka hanya yang bukan tergolong dari jenis manusia lah yang terbebas dari seruan tersebut! Sebenarnya, tidak ada penyebab lain dari meningkatnya harga barang-barang di pasar itu selain disebabkan oleh adanya segolongan besar kaum yang pemalas, tidak bekerja!

Maka, andaikata mereka itu mau bekerja, sebagian bertani, sebagian memancing ikan di air, niscaya dunia ini berada dalam kelimpahan dan kelebihan yang besar!

Dan, segala kekurangan yang terjadi itu, sungguh akan diperhitungkan di Hari Pembalasan yang dashyat kelak!!”[]


REFERENSI:
- AQ.[39]:39. “Katakanlah: ‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu (’alaa makaanatikum), sesungguhnya aku pun bekerja, maka kelak engkau akan mengetahui!’.” Ref.[6]:135, [11]:93, [11]:121, [9]:105.

- AQ.[17]:13-14. “Dan pada tiap-tiap insan itu Kami gantungkan kalung (amal perbuatan)-nya pada lehernya, dan akan Kami keluarkan baginya pada Hari Qiyamah sebuah kitab (catatan amal) yang ditemuinya dalam keadaan terbuka. Bacalah kitabmu! Cukuplah dirimu sendiri pada hari ini membuat perhitungan atasmu!”

- AQ.[30]:30. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-diin, fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah ad-diinul qoyyim, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”

- Imran bin Hushain ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, apa dasarnya kerja orang yang bekerja?”. Rasulullah saw. menjawab: “Setiap orang itu dimudahkan untuk mengerjakan apa yang dia telah diciptakan untuk itu” (Shahih Bukhari, no.2026)

- Imran bin Hushain ra. menceritakan bahwa ada seorang yang bertanya ke Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, apakah telah diketahui siapa2 penghuni surga dan siapa2 penghuni neraka?”. Jawab Nabi saw.: “Ya!”. Tanya, “Jika demikian, apa gunanya amal-amal orang yang beramal?”. Rasulullah saw. menjawab: “Masing-masing bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya!” (Shahih Bukhari, no.1777)