Senin, 15 November 2010

Kuda dan keteguhan pendirian


Kuda Musa makin lama makin kurus dan sakit. Istri Musa sudah cerewet sekali menyuruh agar segera dijual saja. Tapi Musa sendiri begitu sayang kepada kuda yang telah banyak jasanya itu. Namun akhirnya luluh juga hatinya setelah kuda itu kelihatan sangat lemah dan sakit-sakitan.

Pada suatu pagi, berangkatlah suami istri itu menuju pasar. Mereka menuntun kudanya bergantian. Lantaran jarak dari rumahnya ke pasar di Kota Basrah cukup jauh, Musa yang kurus, sudah terengah-engah napasnya. Bahkan terdengar bunyi ‘ngik-ngik’ dari hidungnya. Sementara istrinya,  karena badannya yang sangat tambun hampir saja jatuh pingsan karena penat.

Dalam keadaan seperti itu, beberapa orang kampung lewat dan memandangi mereka dengan kasihan. Salah seorang dari mereka bertanya. ‘’Mau dibawa ke mana kuda itu?”. Musa menjawab. ‘’Ke Basrah.”

‘’Itu kuda hidup atau kuda mati?’’ Mendengar itu, Musa heran. ‘’Tidak kalian lihat kuda ini masih bisa jalan?’’. ‘’Kalau kuda hidup mengapa dituntun? Mestinya kan dinaiki saja bergantian, biar tidak capek!’’
Musa dan istrinya berhenti, lalu berpikir. ‘’Betul juga,’’ ujarnya. Maka Musa menyuruh istrinya menaiki kuda itu, dia yang menuntun dari depan.

Baru beberapa meter mereka berjalan, muncul lagi tiga orang kampung yang datang dari kebun. Mereka geleng-geleng kepala sambil bergumam. “Huh, dasar istri tak tau diri. Mana baktinya kepada suami yang kurus begitu? Dia yang gemuk macam genderang Persi, enak-enak saja duduk. Sedangkan suaminya yang kurus kering dibiarkan mati kepenatan. Durhaka.’’

Mendengar omongan orang-orang kampung, istri Musa segera turun. ‘’Bang, engkau saja yang naik, biar aku saja yang jalan,’’ kata istrinya. Musa kegirangan. Memang dia sudah kelelahan. Dengan cepat dinaikinya kuda itu dan giliran si istri menuntun dari depan.

Belum sempat hilang penatnya, lewat lagi beberapa orang kampung. Laki-laki yang tua berkata. ‘’Huh, suami keparat. Istrinya yang jalannya mengengsot seperti siput laut disuruh menuntun kuda. Sementara dia ongkang-ongkang kaki di atasnya. Barangkali di rumahnya jadi raja, raja terhadap istrinya.’’

Musa sambil menunduk, mendengarkan ocehan orang-orang itu. Begitu mereka sudah berlalu, dia turun dan kebingungan. ‘’Kenapa serba salah? Jadi harus bagaimana? Ah, ya, kita naiki saja berdua,’’ ujar Musa pada istrinya. Dengan gembira suami-istri itu naik bersama-sama ke atas punggung kuda. ‘’Rasanya aman sudah sekarang,’’ ujarnya.

Namun tiba-tiba mereka terkejut mendengar bentakan hebat. ‘’Hai, manusia kejam! Itu kuda kan sudah hampir mampus. Jalan sendiri saja tidak kuat. Dia, kan juga makhluk Allah. Kalian ini manusia, punya akal dan perasaan. Di mana kau taruh ibamu, manusia kejam?’’

Musa melihat, yang membentak itu adalah seorang pembesar negeri. Maka cepat-cepat mereka turun. Dipandanginya kuda itu. Betul juga kalau hampir mati. Tapi bagaimana caranya membawa ke pasar Basrah? Dituntun salah, dinaiki sendiri dimarahi orang, istrinya yang naik kurang ajar, dinaiki berdua jadi kejam. Lantas bagaimana?

Memandangi suaminya sedang kebingungan, istri Musa lalu memberi saran. ‘’Kita gotong saja Bang.’’ Ah. Betul,’’ seru Musa kegirangan. ‘’Engkau memang pintar, Halimah,’’ kata Musa.

Maka kuda itu pun akhirnya diikat pada sebatang kayu, dan digotong ke pasar Basrah. Menjelang masuk pintu kota, lewat beberapa orang pedagang. Dengan bengong mereka menyaksikan suami-istri menggotong seekor kuda. ‘’Kelihatannya kuda itu masih cukup sehat,’’ ujar salah seorang pedagang kepada temannya. Kemudian orang itu menyapa Musa. ‘’Kuda itu sudah lumpuh?’’ Mendengar yang bertanya itu pedagang, Musa buru-buru menyangkal. '‘Tidak, kuda ini masih kuat lari.'’

‘’Masih kuat lari? Aneh. Kuda masih kuat lari digotong-gotong seperti itu. Dasar dunia sudah terbalik. Mengapa tidak dituntun saja, sehingga bapak dan ibu tidak capek seperti itu? Huh dasar kurang waras.’’

Habis kesabaran Musa dan istrinya. Selalu salah saja yang ditemuinya sepanjang jalan. Maka dilemparkannya kuda itu ke pinggir jalan, dan mereka pulang dengan sia-sia. Itulah keputusan yang diambilnya, keputusan paling bodoh akibat tidak percaya kepada pendiriannya sendiri.

Karena itu, kalau mempunyai suatu niat, perbuatlah dengan segera, asalkan tidak bertentangan dengan syariat agama. Jangan terombang-ambing karena omongan orang. Kerjakan sampai selesai, sampai tercapai cita-cita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar