Tampilkan postingan dengan label musyafir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label musyafir. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Desember 2012

Rukun-rukun tarekat


Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Rukun-rukun (sendi-sendi) tarekat ada empat: Lapar, mengasingkan diri dari makhluk (uzlah), tidak tidur di malam hari, dan mempersedikit pembicaraan. Bila seorang murid mampu menahan lapar, maka tiga poin berikutnya secara khusus akan mengikuti. Sebab orang yang lapar akan sedikit berbicara, tahan tidak tidur di malam hari dan senang menghindarkan diri dari orang. Mereka mengungkapkan sendi-sendi dasar tersebut dalam bentuk bait syair:

[I]Para tuan mulia dari kaum abdal kami
telah membagi rumah kewalian menjadi beberapa sendi:
antara diam dan selalu mengasingkan diri, lapar dan tidak tidur, adalah pilihan yang tertinggi.[/I]

Abu al-Qasim al-Qusyairi —rahimahullah— mengatakan: “Sesungguhnya dasar utama pintu menuju tarekat adalah lapar. Sebab mereka tidak akan mendapatkan sumber hikmah kecuali dengan lapar.” Mereka secara bertahap mengurangi makan sedikit demi sedikit, sampai akhirnya hanya sesuap dalam setiap harinya. Sebagian dari mereka ada yang hanya satu biji kurma kering atau anggur kering. Sementara itu Abu Utsman al-Maghribi makan setiap enam bulan sekali. Syekh Muhyiddin Ibnu al-Arabi mengatakan dalam al-Futuhat al-Makkiyyah: “Sebagaimana cerita yang telah sampai pada kami, bahwa Allah Swt. ketika menciptakan nafsu, maka Dia bertanya kepadanya, ‘SiapaAku ini?’ Maka nafsu menjawab, ‘Lalu siapa aku ini?’ Akhirnya ia ditempatkan dalam lautan kelaparan selama empat ribu tahun, kemudian Allah bertanya kembali, ‘Siapa Aku?‘ Ia baru sadar dan mengakui Tuhannya sembari menjawab, ‘Engkau adalah Tuhanku’.”

Sahl bin Abdullah at-Tustari tidak akan makan kecuali setelah lima belas hari. Dan ketika masuk bulan Ramadan, ia tidak makan sebelum melihat bulan sabit satu Syawal. Setiap malam bulan Ramadan ia hanya berbuka dengan air agar bisa keluar dari larangan menyambung (wishal) puasa. Ia pernah berkata: “Ketika Allah menciptakan dunia, Dia menjadikan ilmu dan hikmah berada dalam kelaparan, dan menjadikan kebodohan dan maksiat berada dalam kekenyangan.” Ketika dalam kondisi lapar ia menjadi kuat, dan ketika dalam kondisi kenyang ia menjadi lemah tak berdaya.

Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Kunci dunia adalah kekenyangan, dan kunci akhirat adalah kelaparan.” Yakni kegiatan masing-masing.

Yahya bin Mu’adz ar-Razi berkata: “Kekenyangan adalah api, sedangkan syahwat (kesenangan) ibarat kayu bakar. Dari situ akan muncul kebakaran, dan apinya tidak bisa padam sehingga yang bersangkutan ikut terbakar.”

Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Barangsiapa ingin makan setiap harinya dua kali maka hendaknya membangun tempat makanan untuknya.”

Malik bin Dinar —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa ingin agar setan lari dari bayang-bayangnya maka hendaknya memaksa syahwatnya.” Sementara itu ucapan-ucapan para salaf seperti itu cukup banyak. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.

Diantara perilaku yang harus dilakukan munid, hendaknya selalu berpegang teguh dengan adab (kesopanan) ketika berhadapan dengan Allah, ketika bersama para wali Allah dan saudara-saudaranya. Jangan sampai memberikan kesempatan sama sekali kepada nafsu (diri)nya untuk berbuat yang menyalahi kesopanan (su‘ul-adab).

Abu Ali ad-Daqqaq —rahimahullah— berkata: “Seorang hamba dengan ibadahnya bisa sampai ke surga, tapi ia tidak bisa sampai ke hadirat Tuhannya kecuali beradab ketika sedang beribadah. Barangsiapa tidak bisa memelihara adab dalam ketaatannya maka ia akan terhalang dari Tuhannya oleh tujuh puluh lapis penghalang (hijab).” Ad-Daqqaq tidak pernah bersandar pada apa pun seperti bantal atau dinding kecuali dalam kondisi sangat darurat, dimana ia pernah mengemukakan tentang apa yang ia lakukan itu, “Bahwa bersandar pada sesuatu merupakan tindakan yang tidak sopan.”

Abdullah bin al-Jalla’ berkata: “Barangsiapa tidak memiliki adab (kesopanan) maka ia tidak memiliki syariat, tidak punya iman dan tauhid.” Yakni secara sempurna.

Ibnu ‘Atha’ berkata: “Seorang murid belum dikatakan beradab sehingga ia merasa malu kepada Allah untuk duduk berselonjor di depan-Nya, baik di waktu malam maupun siang hari.”

Al-Hanizi mengatakan: “Aku tidak pernah duduk berkhalwat (menyendiri) dengan duduk berselonjor selama dua puluh tahun.” Ia juga berkata: “Adab secara syariat bersama Allah Swt. dalam segala perkara tentunya lebih diprioritaskan bagi orang yang berakal. Sementara itu dalam syariat tidak pernah ada penjelasan secara gamblang tentang adab pada masalah tersebut.”

Ia juga pernah berkata: “Apabila seseorang bermuamalah dengan para penguasa dunia tanpa menggunakan adab (kesopanan) akan mengakibatkan dirinya terbunuh, lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki kesopanan ketika bersama al-Haq Azza wa Jalla dan berani melanggar apa yang menjadi larangan-Nya?” Ia juga pernah berkata: “Meninggalkan adab bisa mengakibatkan terusir. Maka barangsiapa tidak memiliki adab ketika sedang berada di hamparan tempat duduk maka ia akan diusir menuju ke pintu, dan barangsiapa tidak memiliki adab ketika sedang di pintu maka ia akan diusir ke orang-orang yang memelihana binatang ternak”

Imam asy-Syafi’i —rahimahullah— berkata: “Imam Malik —rahimahullah— pernah berkata kepadaku, ‘Wahai Muhammad, jadikan ilmumu sebagai garam, dan adabmu sebagai tepungnya’.”

Abdurrahman bin al-Qasim —rahimahullah— berkata: “Aku pernah bersahabat dengan Imam Malik selama dua puluh tahun, maka dalam rentang waktu tersebut selama delapan belas tahun ia gunakan untuk mengajar adab, sedangkan sisanya, dua tahun ia gunakan untuk mengajar ilmu. Maka aku berharap andaikan dua puluh tahun itu seluruhnya bisa aku gunakan untuk mengajar adab.”

Asy-Syibli —rahimahullah— berkata: “Diantara ciri-ciri orang-orang yang berada di hadirat Allah adalah tidak pernah tercebur dalam ketidaksopanan sekalipun suatu kesenangan. Maka isyarat-isyarat yang datang dari al-Haq bisa terjadi secara rahasia (sirri) dan terang-terangan. Sebab hadirat al-Haq Azza wa Jalla adalah hadirat adab, kebisuan, keagungan dan penuh rasa takut, maka tidak sepantasnya merasa senang karena tidak sebanding. Bahkan kalau misalnya seorang wali bisa tinggal di hadirat ini selama usia Nabi Nuh a.s. maka hanya akan menambah rasa takut sepanjang waktu. Hal itu terjadi karena tajalli (penampakan Diri) al-Haq Swt. tidak akan terulang. Maka setiap tajalli yang datang kepada seorang hamba maka yang bersangkutan hanya layak untuk menunjukkan kesopanan pada hadirat tersebut. Maka pahamilah!”

Abu al-Husain an-Nun —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa tidak beradab dalam setiap waktu maka ia terkutuk”

Dzun-Nun al-Mishri —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa mencari keringanan untuk meninggalkan adab maka ia akan kembali pada posisi di mana ia datang pertama kali.”

Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi —rahimahullah— berkata: “Seorang murid ketika ia masuk ke dalam tarekat, ibarat sebutir benih yang baru akan tumbuh. Dan ketika ia tercebur pada ketidaksopanan setelah ia masuk maka ia ibarat sebutir benih yang baru tumbuh separo lalu dilempar sehingga mati dan tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.” — Dan hanya Allah Yang Mahatahu..

sufinews

Senin, 15 November 2010

Nasehat Yang Membawa Petaka


 Sayyid Ni'matullah al-Jazairi rahimahullah berkata, bahwa  seorang yang sangat dipercayainya menuturkan sebuah cerita kepadanya: Ada seorang laki-laki di Kota Isfahan yang memiliki seorang istri.

Pada suatu hari, dia terlibat pertengkaran sengit dengan istrinya, sehingga –-karena tidak dapat menguasai amarahnya yang meluap-luap, dan membabi-buta—dia memukulnya dengan tongkat keras-keras. Akan tetapi, akibatnya sungguh tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Istrinya langsung roboh dan tewas seketika, padahal dia sama sekali tidak bermaksud membunuhnya. Maka, dia pun khawatir terhadap keluarga istrinya, dan kebingungan tidak tahu harus bagaimana mencari jalan keluarnya.

Kemudian dia mendatangi salah seorang sahabat karibnya, dan meminta pendapat untuk mengatasi kesulitan tersebut. Sahabat karibnya berkata kepadanya, "Carilah seorang pemuda tampan, ajaklah masuk ke dalam rumahmu.

Lalu bunuhlah dia! Setelah itu, letakkanlah mayat pemuda itu di samping mayat istrimu. Bila kemudian keluarga istrimu menanyakan perihal kematian istrimu, katakanlah, "Aku melihat pemuda ini tidur bersamanya. Maka, aku bunuh mereka berdua."

Dia menyetujui pendapat sahabatnya itu. Kebetulan, ketika dia sedang duduk di depan pintu rumahnya, melihat seorang pemuda tampan melewati jalan depan rumahnya. Maka, dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. 

Dia langsung memanggil pemuda itu dan diperlakukannya dengan baik. Kemudian, dia mengajak pemuda itu masuk ke rumahnya, serta menyuguhkan kepadanya makanan yang lezat. Ketika pemuda itu lengah, dia  langsung mengayunkan pedangnya tepat di leher pemuda tampan itu, sehingga terbunuhlah pemuda tersebut seketika itu juga.

Tak lama kemudian, keluarga istrinya datang mengunjunginya. Suami tersebut menceritakan kepada keluarga istrinya, perihal pengkhianatan (perselingkuhan) yang telah dilakukan istrinya. Mendengar penjelasan yang disampaikannya itu, mereka –keluarga istrinya—berkata; "Sungguh, tepat sekali apa yang telah engkau lakukan."

Secara kebetulan juga, dalam waktu yang bersamaan, sahabat karib orang itu –yang telah memberikan saran untuk membunuh pemuda tampan mendatangi untuk suatu keperluan. Dia mempunyai anak laki-laki yang masih muda lagi tampan, dan dia merasa kehilangan anaknya tepat pada hari dia menyarankan pembunuhan itu.

Dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau telah melaksanakan saran yang telah aku berikan kepadamu?" Orang itu menjawab, ''Ya, saranmu telah aku laksanakan dengan sempurna.'' Lalu dia berkata,'' Tolong perlihatkanlah kepadaku pemuda yang telah engkau bunuh itu." Maka, dia membawanya masuk  ke dalam rumahnya.

Alangkah terkejutnya, begitu dia melihat mayat pemuda tampan itu,  ternyata anaknya yang hilang. Dia kemudian mengambil tanah dan meraupkan ke kepalanya sendiri, sebagai tanda penyesalan dan kesedihan yang mendalam.

Benarlah apa yang penah disabdakan Rasulullah SAW: "Barangsiapa menggali sumur untuk mencelakakan saudaranya sesama mukmin, maka Allah menjadikan dia sendiri yang akan terperosok ke dalamnya."


Mengabaikan Nasihat Ibu


Diceritakan ada seorang abid terkenal dengan sifatnya yang mulia. Pada suatu hari ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah. Namun, kepergiannya tidak mendapat restu ibunya, serta tidak direlakan. Tapi, ia tetap nekat pergi tanpa mempedulikan larangan ibunya.

Dari belakang ibunya mengikuti sambil berdoa: "Wahai Tuhanku, anakku telah membakarku dengan api perpisahan. Maka timpakanlah kepadanya suatu siksaan!" Sang ibu merendahkan diri dan bermunajat kepada Allah SWT.

Ketika si abid tersebut tiba di sebuah kota di waktu malam, maka ia masuk ke dalam masjid untuk melakukan ibadah. Bertepatan pada malam itu, ada pencuri yang masuk ke sebuah rumah di dusun tersebut. Pemilik rumah mengetahui bahwa pencuri berada di dalam rumahnya yang bermaksud mengambil barang-barang. Kontan saja, pemilik rumah berteriak, dan kemudian orang kampung mengejarnya, sehingga pencuri lari dan menuju ke arah masjid.

Sewaktu mereka sudah sampai di muka masjid, pencuri menghilang. Lalu orang kampung pun berteriak: "Pencurinya di dalam masjid!" Kemudian mereka masuk ke dalam masjid, dan melihat si Abid tadi yang sedang berdiri mengerjakan shalat. Pada saat itu juga mereka menangkap si Abid dan menggiringnya untuk diserahkan kepada yang petugas pemerintah.

Lantas penguasa kota memerintahkan agar kedua tangan si Abid dipotong, termasuk kedua kakinya, begitu juga kedua matanya harus dikeluarkan. Petugas negara itu kemudian melaksanakan perintah, dan segera memotong kedua tangan dan kedua kaki si Abid, serta mengeluarkan kedua buah matanya seraya berseru di pasar: "Inilah balasan orang yang mencuri…..!"

Si Abid berkata: "Janganlah kalian mengatakan seperti itu, tapi katakanlah: "Ini adalah balasan orang yang bermaksud thawaf ke Makkah, tanpa restu ibunya…..!"

Ketika mereka mengetahui bahwa ia seorang yang alim dan akan menunaikan ibadah ke Makkah, maka mereka sama menangis sedih penuh penyesalan, lalu mengembalikan si Abid kepada ibunya, serta diletakkan pada pintu tempat ibadah.

Ternyata di dalam sudah ada ibunya, yang sedang berdoa: "Wahai Tuhanku, sekiranya Engkau telah memberikan cobaan kepada anakku dengan satu ujian musibah, maka kembalikanlah ia kepadaku sehingga aku bisa melihatnya!"

Tiba-tiba si ibu mendengar suara dari luar rumah. "Saya adalah musafir yang lapar, berilah aku makan!" kata si Abid.

"Datanglah engkau ke pintu!" jawab si ibu.
"Saya tidak punya kaki untuk berjalan kepada engkau,'' kata si Abid.
''Ulurkan tanganmu!" kata ibunya. "Saya tidak punya tangan,'' jawab si Abid.

"Kalau aku memberi makan kepadamu, maka terjadilah perbuatan haram antara saya denganmu,'' sahut ibunya. "Jangan takut, karena saya sudah tidak mempunyai mata."

Maka sang ibu mengambil sopotong roti dan air yang dingin dari kendi, lalu diberikan kepadanya. Ketika si Abid menyadari bahwa perempuan itu ibunya, maka ia meletakkan wajahnya pada telapak kaki ibunya sambil berkata: "Saya adalah anak ibu yang durhaka…!"

Seketika itu ibunya amat terkejut, setelah mengetahui kondisi anaknya yang sudah tidak mempunyai tangan dan kaki, serta kedua matanya juga tidak ada, si ibu menangis seraya berkata: 

"Wahai Tuhanku, kalau keadaan kami seperti ini, maka cabutlah ruhku dan ruh anakku, sehingga orang-orang tidak mengetahui aib yang kami derita!" Belum sampai sempurna perkataan perempuan itu, maka ruh keduanya pun melayang.


Minggu, 31 Oktober 2010

Hati vs Nafs


Jadilah manusia hati,- atau paling tidak menjadi muridnya.
Jika tidak, engkau hanya berjalan di tempat, bagaikan keledai terperangkap lumpur.
Jika tak punya hati, manusia tak punya guna;
Dalam kesengsaraan, ia akan dikenal dunia.


Apabila nafsu telah mencapai tingkat kesempurnaan, dia akan sampai pada tingkat perkembangan hati. Pada kenyataannya, nafsu yang tenang adalah hati yang paling dalam, yang oleh para filosof di sebut sebagai nafsu rasional (nafis al natiqa). Namun demikian, sebagian besar manusia masih berada pada maqam sifat sifat kebendaan (tab'), tingkat nafsu, dan belum memiliki hati.

Hati adalah sebuah tempat antara wilayah Kesatuan (ruh) dan daerah keanekaragaman (nafsu). Jika hati mampu melepaskan selubung nafsu yang melekat padanya dia akan berada di bawah pengaruh ruh; itulah yang dikatakan telah menjadi hati dalam makna yang sebenarnya, telah bersih dari segala kotoran keanekaragarnan. Sebaliknya, jika hati dikuasai oleh nafsu, dia menjadi keruh oleh kotoran keanekaragaman nafsu.

Ruh adalah sumber semua kebaikan, dan nafsu adalah sumber semua kejahatan. Cinta menjadi tentara ruh, dan hasrat membentuk tentara nafsu.
Ruh mewakili keberhasilan melalui Allah, sedangkan nafsu mewakili kegagalan melalui Allah juga. Hati terletak antara keduanya, dan pemenang dari keduanya akan mengendalikan hati.

Bila cinta memanggil hati
untuk datang kepadanya,
Hati akan terbang lepas
dari semua makhluk ciptaan.
(Rumi)


Hati adalah tempat dari semua pengetahuan dan kesempurnaan ruh serta tempat terlihatnya penyingkapan Perwujudan Ketuhanan melalui tingkat Esensi yang berbeda beda. Inilah aspek yang memberinya istilah Arab qalb, yang menunjukkan kedudukan tengah antara nafsu dan ruh. Hati membentuk jembatan antara keduanya, yang mewujudkan kesempurnaan dari kedua tingkat yang mengapitnya, yang mendapatkan karunia dari ruh dan menyebarkannya kepada nafsu.
Cangkir yang menggambarkan dunia
adalah hati dari orang yang sempurna
Cermin yang merefleksikan Allah pada kenyataannya adalah hati yang dalam. (SGR3)

Tanah asal Adam diciptakan terolah dengan embun kasih sayang; akibatnya, ratusan kesengsaraan dan kekacauan terlihat di dunia.
Pisau cinta
menusuk pembuluh ruh.
Setetes yang jatuh,
lahirlah hati
(Majdud Din Baghdad)

Dalam komentarnya tentang Fushush al Hikam, jami' menulis:
"Hati adalah haqiqat yang meliputi haqiqat-haqiqat kejasmaniahan serta indera indera pembentuk fisik di satu sisi, dan haqiqat spiritualitas serta karakter karakter nafsu, di sisi yang lain."

Dalam terminologi Sufi, hati menggambarkan substansi spiritual yang terletak antara ruh dan nafsu, yaitu suatu substansi yang merupakan tempat terwujudnya sifat-sifat kemanusiaan. Para filosof menyebut substansi tersebut dengan nafsu rasional, dan menganggapnya sebagai pelengkap nafsu hewani. (KF 1170)

Dalam wilayah ini,
hati adalah raja;
Pada jalan menuju langit tertinggi,
hati adalah pintunya.
Badan bukanlah apa apa,
esensi seseorang adalah hati;
Penghuni "antara dua jari"
Allah adalah Hati.
Dia mampu berperan
sebagai agama ataupun keingkaran;
Dia dapat berputar dari kebajikan dan keburukan.

Engkau pernah mendengar cerita tentang piala Jamsyid yang sering diceritakan kembali,
Dan dalam cerita itu engkau mendengar sumur yang penuh, sebagai barang yang berharga sekaligus sia sia.
Sadarlah bahwa cangkir Jamsyid itu adalah hatimu sendiri,
Hatimu itulah yang telah membentuk sandaran maupun kesedihan.
Jika engkau mempunyai keinginan untuk melihat dunia,
Engkau bahkan akan mampu melihat semua hal di dalam hatimu.

Semak semak bunga mawar telah ditanam dengan harapan tumbuhnya tunas tunas bunga mawar hati.
Ketika belukar mawar menghasilkan kuncup-kuncup bunga segar mawar hati, terselubung dalam tunas itu kelopak kelopak yang penuh daya cipta, baik partikular ataupun universal.
Indahnya keindahan adalah tanda karunia Nya;
Alam kehidupan ruang dan waktu adalah catatan keanekaragaman Nya.
Alam dan apa yang di dalamnya,
Apa saja yang disebut hikmah yang membentuk dunia Nya
Akan hilang dalam hati, Semuanya kecuali yang setetes
dalam hati, Laut Merah.

Bagaimana engkau dapat mengukur apa yang berada di dalam Allah?
Hati yang terletak di dalam selubung badan yang utama bagi kehidupan dan kematian.
Perwujudan rahasia rahasia ketuhanan dan refleksi cahaya cahayanya,
Terletak tidak di dalam hati jasmani tapi dalam hati yang sesungguhnya.

Andai hati hanyalah sebuah benda dari tanah, maka tak ada perbedaan
Antara hati ini dan hati keledai.
Berapa lama engkau akan merasa bangga dengan benda yang terbuat dari tanah ini?
Keledai juga memiliki bagian tubuh seperti ini.

Siapa saja, yang mirip seekor keledai, bangga dengan bagian tubuh ini,
Telah mengganti sebuah mutiara yang berharga untuk sebuah manik dari tanah.
Engkau harus tunduk, kepada seseorang yang berhati seperti lautan
Andai engkau ingin menemukan hati bagaikan mutiara.
Engkau harus mencari naungan di sisi sang guru,
Andai engkau ingin mendapatkan sebuah hati darinya.
Hatimu adalah telur
dari seekor burung kecil;
Tak ditemukan jejak jejak perpindahan,
dari penerbangan yang berasal dari dalamnya.
Untuk mendorongnya, membuatnya bisa terbang,
Berikanlah telur itu kepada sang guru, yang akan menetaskannya.


Sumber : Dr. Javad Nurbakhsy

Kisah Wali di bulan Rajab


Perhatikanlah rahmat Allah yang turun di bulan ini. Jika kalian melakukan kesalahan, jangan melarikan diri, tetapi datanglah kepada Tuhanmu karena Dia akan mengampunimu. Ini sangat penting karena tidak seorang pun yang tahu apa yang akan diberikan Allah kepada hamba-Nya—bahkan kedua malaikat yang ditugaskan untuk mencatat seluruh amal perbuatan di pundak manusia juga tidak mengetahuinya. Di bulan ini segalanya berasal dari Allah dan tidak ada yang tahu balasan Allah atas setiap perbuatan terkecil dalam rangka ibadah kepada-Nya.

Di masa Rasulullah , hidup seseorang perampok jalanan yang bernama Qowd [?] al-‘Abbas [?]. Di malam hari dia pergi ke jalan dan bila menemukan seseorang yang berjalan sendirian, dia akan menangkap dan merampoknya, kadang-kadang dia melukai dan membunuhnya, setelah itu dia kembali lagi ke rumahnya.
Tidak seorang pun sanggup menangkapnya. Rasulullah pernah mengutuk orang ini dengan mengatakan bahwa dia adalah orang yang sangat jahat, sehingga bila dia meninggal, beliau tidak akan menshalatkan dan menguburkannya di pemakaman Muslim.

Beberapa tahun kemudian orang itu meninggal dunia. Dia mempunyai seorang anak perempuan tetapi tidak ada orang lain yang bisa mengurus jasadnya. Karena Rasulullah telah mengutuknya, maka anak itu membawa tubuh ayahnya di sepanjang jalan di Madinah dan melemparkannya ke dalam sumur yang kering. Beberapa saat kemudian Allah berfirman kepada Rasulullah , “Ya Habibi ya Muhammad! Wahai Rasulku yang tercinta, hari ini salah satu waliku meninggal dunia. Engkau harus pergi memandikan dan membersihkannya, lalu mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya. Rasulullah menjadi heran karena selama hidupnya orang itu telah dikutuknya, tetapi sekarang ketika dia meninggal, Allah mengatakan bahwa dia adalah seorang Wali. Bagaimana mungkin? Tetapi tak seorang pun yang bisa menggugat Pengetahuan Allah , bahkan Rasulullah pun tidak. Jika Allah ingin menjadikan seorang perampok sebagai Wali, tak ada yang bisa mengatakan ‘mengapa?’ Semua harus menerimanya. Itulah sebabnya, menurut ajaran Sufi dan ajaran thariqat Naqsybandi, kalian harus memandang orang lain lebih baik dari dirimu.

Sumber : Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani
dalam Mercy Oceans Secrets of the Heart

Kepala Ikan untuk Nelayan


Seorang nelayan salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia
melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil
tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus
sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun
menjadi seorang syaikh seperti gurunya.

Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu
memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan
nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.


Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat
tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri
di puncak suatu bukit. "Itulah rumah Syaikh," ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya
sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang
perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan
kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa
pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya
kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru
sufi.

Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang
disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah
itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para
pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang
terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi
sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah
arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari
tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia
yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan
surban yang lazim dipakai para sultan.


Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan
gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia
menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, "Katakanlah pada
gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia."
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia
sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang
telah menemuinya. "Lalu," tanya nelayan itu, "apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?"
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas
mengingat betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya
kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan
oleh Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan,
bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia
terlalu terikat kepada dunia.
"Dia benar," jawab sang nelayan, "ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya.
Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja
itu seekor ikan yang utuh.

"Mati" sebelum Kau Mati


 



Kau sudah banyak menderita
Tetapi kau masih terbalut tirai’
Karena kematian adalah pokok segala
Dan kau belum memenuhinya
Deritamu tak kan habis sebelum kau ‘Mati’

Kau tak kan meraih atap tanpa menyelesaikan anak tangga
Ketika dua dari seratus anak tangga hilangKau terlarang menginjak atap
Bila tali kehilangan satu elo dari seratus
Kau tak kan mampu memasukkan air sumur ke dalam timba
Hai Amir, kau tak kan dapat menghancurkan perahu
Sebelum kau letakan “mann” terakhir…

Perahu yang sudah hancur berpuing-puingAkan menjadi matahari di Lazuardi
Karena kau belum ‘Mati’,
Maka deritamu berkepanjangan
Hai Lilin dari Tiraz, padamkan dirimu di waktu fajar
Ketahuilah mentari dunia akan tersembunyi
Sebelum gemintang bersembunyi
Arahkan tombakmu pada dirimu
Lalu ‘Hancurkan’lah dirimu

Karena mata jasadmu seperti kapas di telingamu…
Wahai mereka yang memiliki ketulusan…
Jika ingin terbuka ‘tirai’Pilihlah ‘Kematian’ dan sobekkan ‘tirai’
Bukanlah karena ‘Kematian’ itu kau akan masuk ke kuburan
Akan tetapi karena ‘Kematian’ adalah Perubahan
Untuk masuk ke dalam Cahaya…
Ketika manusia menjadi dewasa, matilah masa kecilnya
Ketika menjadi Rumi, lepaslah celupan Habsyi-nya
Ketika tanah menjadi emas, tak tersisa lagi tembikar
Ketika derita menjadi bahagia, tak tersisa lagi duri nestapa…


~ Jalaluddin Rumi ~

suatu petang di Andulisty

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. 
Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika algojo penjara itu melintasi di hadapan mereka. 
 
Kerana kalau tidak, sepatu boot keras milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyunya.
 
Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahananyang keriput hanya tinggal tulang.

Tak puas sampai di situ, ia alu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata "Rabbi, wa ana abduka... " Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
"Bersabarlah wahai ustaz... InsyaALLAH tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus.

Anda telah membuat aku benci dan geram dengan suara-suara yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah.

Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah.

Ketika
itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah buku kecil. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat. "Berikan buku itu, hai lelaki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus.

Bahkan algojo penjara itu merasa lebih puas lagi ketika melihat titisan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."
Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.

Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini.

Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat
pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid
semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.

Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi... "

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih. "Hah... siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar.

Tiba-tiba "Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai budak... ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang Adolf Roberto... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu."

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu.

Ketika ia menemukan sebuah tanda hitam ia berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... " Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai tanda hitam pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... " Terdengar suara Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah... . Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya... "

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALlah, tetaplah atas fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah ALlah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)

berhentilah jadi gelas

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”

Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.
“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
 
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam.

Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya qalbu yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”
: : : : : : :
“Berkata (Musa), “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,” (25)
“Dan mudahkanlah untukku urusanku.” (26).

[Q.S. 20 : 25 - 26]
“Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” [Q.S. 2 :286)

jauh lebih baik dari sup kaldu sayuran, Rumi tentang puasa

lute
Ada kebahagiaan rahasia bersama perut yang kosong.
Kita cuma alat musik petik, tak lebih, tak kurang.
Kotak suara penuh, musik pun hilang.

Bakar habis segala yang mengisi kepala dan perut
dengan menahan lapar, maka setiap saat
irama baru akan keluar dari api kelaparan yang nyala berkobar.
Ketika hijab habis terbakar, keperkasaan baru akan membuatmu melejit
berlari mendaki setiap anak tangga di depanmu yang digelar.
Jadilah kosong,
lalu merataplah
seperti indahnya ratapan bambu seruling yang ditiup pembuatnya.
Lebih kosong,
jadilah bambu yang menjadi pena (*1),
tulislah banyak rahasia-Nya.

Ketika makan dan minum memenuhimu, iblis duduk
di singgasana tempat jiwamu semestinya duduk:
sebuah berhala buruk dari logam duduk di Ka’bah.
Ketika kau berpuasa menahan lapar, sifat-sifat baik
mengerumunimu bagai para sahabat yang ingin membantu.

Puasa adalah cincin Sulaiman (*2). Jangan melepasnya
demi segelintir kepalsuan, hingga kau hilang kekuasaan.

Namun andai pun kau telah melakukannya, sehingga
seluruh kemampuan dan kekuatan hilang darimu,
berpuasalah: mereka akan datang lagi kepadamu,
bagai pasukan yang muncul begitu saja dari tanah,


dengan bendera dan panji-panji yang berkibaran megah.
Sebuah meja akan diturunkan dari langit ke dalam tenda puasamu,
meja makan Isa (*3). Berharaplah memperolehnya,
karena meja ini dipenuhi hidangan lain,
yang jauh, jauh lebih baik dari sekedar sup kaldu sayuran.
(Jalaluddin Rumi, terjemahan Bahasa Indonesia oleh Herry Mardian)

: : : : : : : : :
Keterangan:
(1) Kitab-kitab suci ditulis dengan pena bambu dan pena alang-alang yang dicelup ke dalam tinta.

(2) “Cincin Sulaiman” konon adalah sumber kekuasaan. Legenda mengatakan, ‘barangsiapa yang mengenakan cincin Nabi Sulaiman, ia akan memperoleh kekuasaan’. Sebenarnya “cincin Sulaiman” adalah cincin tembaga atau besi murahan yang diukir dengan kata-kata “Ini pun akan berlalu”. Jika beliau merasa senang, ia menyadari bahwa kesenangannya adalah sementara sehingga ia menjadi sabar.

Demikian pula, jika beliau merasa sedih, dengan melihat ke cincinnya ia menyadari bahwa kesedihannya bersifat sementara sehingga ia juga menjadi sabar dan ridha. “Cincin Sulaiman”, yang barangsiapa memilikinya konon akan memperoleh kekuasaan besar, adalah kesabaran.

(3) “Meja Isa” adalah meja tempat Nabi Isa makan bersama para murid-muridnya dan menjamu mereka, setelah beliau dibangkitkan dari kematian.

jadilah pohan yang berbuah, dalam nasehat nabi Isa


Berkumpulah para murid di sekeliling Nabi Isa as., mereka kembali dengan membawa bakul yang dengan qadar Allah telah terisi penuh buah-buah kurma yang baru masak. Setelah mereka bersembahyang tengah hari, mereka makan bersama sang Nabi.

Dan ketika mereka melihat Barnabas (juru tulis sang Nabi) bermuram muka, maka bangkitlah rasa takut dalam dada para murid, mereka mulai mencurigai jangan-jangan kebersamaan mereka dengan sang Nabi sudah tidak akan lama lagi.

Dari itu Nabi Isa as. menghibur para muridnya, sabdanya:
“Janganlah kalian takut, karena hingga kini saat kepergianku dari kalian semua belumlah tiba, dan aku masih akan berada diantara kalian dalam sedikit waktu lagi.

Karena itu, harus kuwasiatkan kepada kalian sekarang, sebagaimana telah aku sampaikan ke seluruh khalayak Israel, bahwa kalian harus mewartakan tentang taubat, agar Allah merahmati dosa-dosa Israel.

Dan hendaknya setiap orang agar berhati-hati dengan sifat malas, karena setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik akan dipotong dan akan dilemparkan ke dalam api pembakaran!

Sebuah perumpamaan, ada seorang pribumi yang memiliki lahan tanaman anggur, di tengah-tengahnya ada kebun kurma dan balsan yang di dalamnya ada sebuah pohon Tin.

Maka ketika sang pemilik kebun melihat bahwa pohon Tin tersebut sudah tiga tahun tidak menghasilkan buah, berkatalah ia kepada tukang kebunnya, “Tebanglah pohon yang busuk ini, karena memberatkan kepada tanah!”. Lalu tukang kebun menjawab, “Janganlah begitu ya tuanku, karena pohon ini sungguh indah!”

Dijawablah oleh sang pemilik tanah, “Diamlah, bagiku tidak ada perlunya keindahan tanpa faidah! Dan engkau harus mengetahui bahwa pokok kurma dan balsan itu lebih indah dari Tin!

Ketahuilah, dahulu aku pernah menanam cangkokan dari pokok kurma dan balsan di tengah-tengah halaman rumahku, kemudian kedua pohon tersebut aku kitari dengan pagar yang mahal. 

Akan tetapi, ketika kedua pohon itu tidak menghasilkan buah dan hanya tumpukan daun-daun semata yang merusak tanah di depan rumah, maka aku perintahkan kedua pohon itu untuk dipindahkan! 

Apakah bisa aku maafkan sebuah pohon Tin yang jauh dari rumahku, yang memberatkan tanah kebun dan tanaman anggurku, dimana semua pohon yang lain menghasilkan buah. Sungguh aku tidak dapat membiarkan pokok pohon ini lagi!”

Lalu tukang kebun itu menjawab, “Wahai tuan, sebenarnya tanah ini subur sekali, oleh karena itu tunggulah setahun lagi. Aku akan pangkasi dahan-dahan pokok Tin ini, akan aku hilangkan darinya tanah yang terabuk, dan akan kuberi tanah yang kering dan batu-batu supaya ia berbuah”

Pemilik tanah menjawab, “Cobalah kerjakan itu, dan aku akan menunggu pokok pohon Tin ini berbuah”
Nabi Isa as. bertanya kepada para muridnya: “Pahamkah kalian dengan perumpamaan tersebut?”.

Para murid menjawab, “Tidak tuan, cobalah tafsirkan untuk kami”
Nabi Isa as. menjawab: “Ketahuilah oleh kalian, bahwa sang pemilik tanah itu adalah Allah, sedangkan tukang kebunnya itu adalah syariat-Nya!

Di sisi Allah, di surga, ada pokok pohon kurma dan pohon balsan, pokok kurma itu adalah setan dan pokok balsan itu adalah sang manusia pertama. Kemudian diusirlah keduanya, karena keduanya tidak menghasilkan buah berupa amal-amal saleh, bahkan keduanya mengucapkan kata-kata yang tidak baik dimana menjadi membawa hukuman atas para malaikat dan banyak manusia!

Dan oleh karena Allah telah menempatkan manusia di tengah-tengah para mahluk-Nya, yang kesemua ciptaan-Nya itu bertasbih memuji-Nya menurut titah-Nya, maka jika manusia itu tidak membuahkan sesuatu, Allah akan memotongnya dan melemparkannya ke neraka!

Karena Dia tidak memaafkan kepada sosok malaikat dan manusia pertama itu, Dia melaknat si malaikat itu untuk selama-lamanya, tetapi kepada si manusia hanya untuk sementara.

Maka berkatalah syariat Allah, bahwa bagi si manusia tersebut dalam kehidupan ini telah disediakan bermacam-macam rizqi yang lebih dari cukup, melampaui sekedar kebutuhannya. Karena itu, ia harus tahan dalam menerima derita penempaan dan menjauhkan diri dari kelezatan-kelezatan duniawi, agar ia berbuah amalan yang saleh!

Maka atas dasar itulah Allah memberikan kepada manusia kesempatan untuk bertobat. Aku katakan kepada kalian, bahwa Allah telah mewajibkan atas manusia untuk bekerja demi mencapai suatu tujuan seperti yang pernah dikemukakan oleh Ayub, Nabi dan kekasih Allah: ‘Sesungguhnya burung itu dilahirkan untuk terbang, ikan itu untuk berenang, demikian juga manusia ini dilahirkan untuk bekerja!’

Dan telah berkata pula bapak kita, Nabi Allah, Dawud: ‘Apabila kita makan dari buah kerja tangan kita, akan diberkatilah kita, dan menjadi baik bagi tubuh’. Untuk tujuan ini, maka setiap orang harus bekerja menurut bakatnya masing-masing!

Wahai, cobalah kalian katakan kepadaku, jika bapak kita Dawud dan anaknya Sulaiman telah bekerja keras dengan kedua tangan mereka sendiri, apakah yang seharusnya diperbuat oleh seorang yang berdosa ini?”.

Yahya menjawab, “Ya guru, sebenarnya amal itu adalah sesuatu yang baik, akan tetapi kaum fakirlah yang harus melaksanakannya’. Nabi Isa as. menjawab: “Ya, karena mereka tidak bisa berbuat yang lain dari selain itu. Akan tetapi tidakkah engkau ketahui wahai Yahya, bahwa untuk menjadi lebih saleh, maka seorang yang saleh itu harus dapat membebaskan dirinya dari segala kebutuhan.

Matahari dan bintang-bintang yang lain itu menjadi kuat karena memakan perintah Allah, sehingga mereka tidak dapat berbuat dari selain yang diperintahkan itu, maka tiadalah bagi mereka itu suatu kelebihan.

Katakanlah kepadaku, tatkala Allah memerintahkan untuk bekerja, apakah Allah berfirman: ‘Seorang fakir itu harus makan dari keringat dahinya?’. Atau apakah Ayub mengatakan: ‘Sebagaimana burung itu dilahirkan untuk terbang, maka demikian pula dengan si fakir, ia dilahirkan untuk bekerja?’

Tidak, tetapi Allah telah memfirmankannya untuk seluruh manusia: ‘Dengan keringat di wajahmu, engkau akan makan rotimu!’

Dan Ayub (as.) berkata: ‘Bahwa manusia itu dilahirkan untuk bekerja!’
Atas dasar itulah, maka hanya yang bukan tergolong dari jenis manusia lah yang terbebas dari seruan tersebut! Sebenarnya, tidak ada penyebab lain dari meningkatnya harga barang-barang di pasar itu selain disebabkan oleh adanya segolongan besar kaum yang pemalas, tidak bekerja!

Maka, andaikata mereka itu mau bekerja, sebagian bertani, sebagian memancing ikan di air, niscaya dunia ini berada dalam kelimpahan dan kelebihan yang besar!

Dan, segala kekurangan yang terjadi itu, sungguh akan diperhitungkan di Hari Pembalasan yang dashyat kelak!!”[]


REFERENSI:
- AQ.[39]:39. “Katakanlah: ‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu (’alaa makaanatikum), sesungguhnya aku pun bekerja, maka kelak engkau akan mengetahui!’.” Ref.[6]:135, [11]:93, [11]:121, [9]:105.

- AQ.[17]:13-14. “Dan pada tiap-tiap insan itu Kami gantungkan kalung (amal perbuatan)-nya pada lehernya, dan akan Kami keluarkan baginya pada Hari Qiyamah sebuah kitab (catatan amal) yang ditemuinya dalam keadaan terbuka. Bacalah kitabmu! Cukuplah dirimu sendiri pada hari ini membuat perhitungan atasmu!”

- AQ.[30]:30. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-diin, fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah ad-diinul qoyyim, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”

- Imran bin Hushain ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, apa dasarnya kerja orang yang bekerja?”. Rasulullah saw. menjawab: “Setiap orang itu dimudahkan untuk mengerjakan apa yang dia telah diciptakan untuk itu” (Shahih Bukhari, no.2026)

- Imran bin Hushain ra. menceritakan bahwa ada seorang yang bertanya ke Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, apakah telah diketahui siapa2 penghuni surga dan siapa2 penghuni neraka?”. Jawab Nabi saw.: “Ya!”. Tanya, “Jika demikian, apa gunanya amal-amal orang yang beramal?”. Rasulullah saw. menjawab: “Masing-masing bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya!” (Shahih Bukhari, no.1777)

Sabtu, 30 Oktober 2010

Orang Yang Berjalan di Atas Air


hikayat sufi Seorang darwis yang berpegang kepada kaidah, yang berasal dari mazhab yang saleh, pada suatu hari berjalan menyusur tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada berbagai masalah moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian pengajaran Sufi dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama, perasaan, dengan pencarian kebenaran mutlak.

Tiba-tiba renungannya terganggu oleh teriakan keras: Seseorang terdengar mengulang-ulang suatu ungkapan darwis. Tak ada gunanya itu, katanya kepada diri sendiri. Sebab orang itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya diucapkannya yâ hû, tapi ia mengucapkannya u yâ hû.


Kemudian ia menyadari bahwa sebagai darwis yang lebih teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang itu. Mungkin orang itu tidak pernah mempunyai kesempatan mendapat bimbingan yang baik, dan karenanya telah berbuat sebaik-baiknya untuk menyesuaikan diri dengan gagasan yang ada di balik suara yang diucapkannya itu.

Demikianlah darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi ke pulau di tengah-tengah arus sungai, tempat asal suara yang didengarnya tadi.

Didapatinya orang itu duduk di sebuah gubuk alang-alang, bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang diucapkannya itu. Sahabat, kata darwis pertama, Anda keliru mengucapkan ungkapan itu.

Saya berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasihat. Inilah ucapan yang benar. Lalu ia memberitahukannya ucapan itu. Terimakasih, kata darwis yang lain itu dengan rendah hati.

Darwis pertama turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab baru saja berbuat amal. Bagaimana pun kalau orang boleh mengulang-ulang ungkapan rahasia itu dengan benar, ada kemungkinan boleh berjalan di atas air.

Hal itu memang belum pernah disaksikannya sendiri, tetapi berdasarkan alasan tertentu- darwis pertama itu ingin sekali boleh melakukannya. Kini ia tak mendengar lagi suara gubuk alang-alang itu, tapi ia yakin bahwa nasihatnya telah dilaksanakan sebaik-baiknya.

Kemudian didengarnya lagi ucapan u yâ hû yang keliru itu ketika darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ulang ucapannya….

Ketika darwis pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa manusia memang suka bersikeras mempertahankan kekeliruan, tiba-tiba disaksikannya pemandangan yang menakjubkan. Dari arah pulau itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya, berjalan di atas air….

Karena takjubnya, ia pun berhenti mendayung. Darwis kedua pun mendekatinya, katanya, Saudara, maaf saya mengganggu Anda. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit benar rasanya mengingat-ingatnya


Sumber: syafii.wordpress.com

Burung India


fabel sufiSeorang saudagar memelihara burung dalam sangkar. Ia akan berangkat ke India, tanah asal burung itu, dan menanyakan barangkali binatang itu meminta oleh-oleh dari sana.

Burung itu meminta kebebasannya, tetapi ditolak. Karena itu ia minta saudagar itu pergi ke hutan di India, lalu mengabarkan tentang keadaannya yang dalam kurungan kepada burung-burung lain yang masih bebas.

Saudagar itu pun melaksanakan pesan tersebut, dan begitu ia mengucapkan kata-katanya, seekor burung serupa dengan burung piaraannya jatuh dari sebuah pohon, tak sadarkan diri di tanah.


Si Saudagar berpendapat bahwa itu tentulah saudara burung piaraannya, dan iapun merasa sedih telah menyebabkan kematiannya.

Ketika ia pulang, burungnya bertanya apakah tuannya membawa kabar gembira dari India.
“Tidak,” jawab saudagar itu, “kabar buruklah yang aku bawa. Salah seekor saudaramu tak sadar diri dan jatuh dekat kakiku ketika kusiarkan kabar tentang keadaanmu.”

Segera setelah kata-kata itu diucapkan, burung yang dalam sangkar itu pun tak sadarkan diri dan jatuh ke dasar sangkar.

“Kabar kematian saudaranya menyebabkannya mati juga,” pikir saudagar itu. Dengan sedih diambilnya burung itu dari sangkarnya, lalu diletakkannya di ambang jendela. Segera saja burung itu hidup kembali, terbang ke pohon terdekat.

“Kini kau tahu,” kata Si Burung, “bahwa yang kau kira kabar buruk itu, ternyata merupakan kabar baik bagiku. Dan pesan, yakni cara untuk membebaskan diriku, ternyata telah disampaikan kepadaku lewat kamu, yang dulu menangkapku.” Dan burung itupun terbang, bebas merdeka akhirnya.


Catatan
Fabel Jalaluddin Rumi ini merupakan salah satu yang menekankan pentingnya pengajaran tak langsung dalam Sufisme .

Peniru dan sistem yang diatur sesuai dengan pemikiran konvensional, baik di Barat maupun di Timur, umumnya memilih penekanan pada “sistem” dan “program,” dan bukan pada totalitas pengalaman yang dijalankan dalam mazhab Sufi.


Diambil Dari:
Judul Buku: Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau.
Oleh Idries Shah
Terjemahan: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984

Keperluan Yang Makin Mendesak


anekdot sufi Pada suatu malam, seorang penguasa tiran di Turkistan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh seorang darwis. Tiba-tiba bertanya tentang Nabi Khidir. Khidir, kata darwis itu, datang kalau diperlukan. Tangkap dan jubahkan ia kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik paduka. Apakah itu boleh terjadi pada siapa pun? Siapa pun boleh, kata darwis itu.

Siapa pula lebih boleh dariku? fikir sang Raja; dan ia pun mengedarkan pengumuman: Barangsiapa boleh menghadirkan Khidir yang gaib, akan kujadikan orang kaya.


Seorang lelaki miskin dan buta bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu menyusun akal. Ia berkata kepada istrinya, Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun, hal itu tidak mengapa, sebab kekayaan kita itu boleh menghidupimu selamanya.

Kemudian Bakhtiar menghadap Raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Khidir dalam waktu empat puluh hari, kalau Raja bersedia memberinya seribu keping emas. Kalau kau boleh menemukan Khidir, kata Raja, kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping wang emas ini. Kalau gagal, kau akan mati, dipancung di tempat ini sebagai peringatan kepada siapa pun yang akan mencoba mempermainkan rajanya.

Bakhtiar menerima syarat itu. Ia pun pulang dan memberikan wang itu kepada istrinya, sebagi jaminan hari tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu dipergunakannya untuk merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.
Pada hari keempat puluh ia menghadap Raja. Yang Mulia, katanya, kerakusanmu telah menyebabkan kau berfikir bahwa wang akan boleh mendatangkan Khidir. Tetapi Khidir, kata orang, tidak akan muncul oleh panggilan yang berdasarkan kerakusan.

Sang Raja sangat marah, Orang celaka, kau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri keinginan seorang raja?

Bakhtiar berkata, Menurut dongeng, semua orang boleh bertemu Khidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Khidir akan menemui orang selama ia boleh memanfaatkan saat kunjungannya itu. Itulah hal yang kita tidak menguasainya.

Cukup ocehan itu, kata sang Raja, sebab tak akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul di sini agar memberikan nasihatnya tentang cara yang terbaik untuk menghukummu.
Ia menoleh ke Menteri Pertama dan bertanya, Bagaimana cara orang itu mati? Menteri Pertama menjawab, Panggang dia hidup-hidup sebagai peringatan.

Menteri Kedua, yang berbicara sesuai urutannya, berkata, Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan anggota badannya.

Menteri Ketiga berkata, Sediakan kebutuhan hidup orang itu agar ia tidak lagi mau menipu demi kelangsungan hidup keluarganya.

Sementara pembicaraan itu berlangsung, seseorang yang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki rwang pertemuan. Ia berkata, Setiap orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang tersembunyi di dalam dirinya.

Apa maksudmu, tanya Raja.
Maksudku, Menteri Pertama itu aslinya Tukang Roti, jadi ia berbicara tentang panggang memanggang. Menteri Kedua, dulunya Tukang Daging, jadi ia berbicara tentang potong memotong daging. Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini.

Catat dua hal ini, pertama, Khidir muncul melayani setiap orang sesuai kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar, orang ini yang kuberi nama Baba (Bapak dalam bahasa Parsi, -red.) karena pengorbanannya- telah didesak oleh keputusasaannya untuk melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga aku pun muncul di depanmu.

Ketika orang-orang itu memperhatikannya, orang tua yang bijaksana itu pun lenyap begitu saja. Sesuai yang diperintahkan Khidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri Pertama dan Kedua dipecat, dan seribu keping wang emas itu dikembalikan ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya.


Catatan:
Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang sufi bijaksana, yang hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang di Khurasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi. Kisah ini, dikatakan juga terjadi pada sejumlah besar syekh sufi lain dan menggambarkan pengertian tentang terjalinnya keinginan manusia dengan makhluk lain.

Khidir merupakan penghubung antara keduanya. Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaluddin Rumi: Peralatan baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan menuntutnya/ Karenanya, wahai manusia, jadikan keperluanmu makin mendesak/ Sehingga engkau boleh mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi.

Sumber: syafii.wordpress.com