Tampilkan postingan dengan label kisah sahabat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah sahabat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Juni 2011

si Arab Badui

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Suatu hari Rasulullah Muhammad SAW sedang tawaf di Kakbah, baginda mendengar seseorang di hadapannya bertawaf sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!”
Rasulullah SAW meniru zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!”
Orang itu berhenti di satu sudut Kakbah dan menyebutnya lagi “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah yang berada di belakangnya menyebutnya lagi “Ya Karim! Ya Karim!”
Orang itu berasa dirinya di perolok-olokkan, lalu menoleh ke belakang dan dilihatnya seorang lelaki yang sangat tampan dan gagah yang belum pernah di lihatnya.
Orang itu berkata, “Wahai orang tampan, apakah engkau sengaja mengejek-ngejekku, karena aku ini orang badui? Kalaulah bukan karena ketampanan dan kegagahanmu akan kulaporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”
Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah SAW tersenyum lalu berkata: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?”
“Belum,” jawab orang itu.
“Jadi bagaimana kamu beriman kepadanya?” tanya Rasulullah SAW.
“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya walaupun saya belum pernah bertemu dengannya,” jawab orang Arab badui itu.
Rasulullah SAW pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab, ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat.”
Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya lalu berkata, “Tuan ini Nabi Muhammad?” “Ya,” jawab Nabi SAW.
Dengan segera orang itu tunduk dan mencium kedua kaki Rasulullah SAW.
Melihat hal itu Rasulullah SAW menarik tubuh orang Arab badui itu seraya berkata, “Wahai orang Arab, janganlah berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh seorang hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutus aku bukan untuk menjadi seorang yang takabur, yang minta dihormati atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”
Ketika itulah turun Malaikat Jibril untuk membawa berita dari langit, lalu berkata, “Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: “Katakan kepada orang Arab itu, agar tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di Hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar.”
Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Orang Arab itu pula berkata, “Demi keagungan serta kemuliaan Allah, jika Allah akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan denganNya.”
Orang Arab badui berkata lagi, “Jika Allah akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran magfirahNya. Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa luasnya pengampunanNya. Jika Dia memperhitungkan kebakhilan hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa dermawanNya.”
Mendengar ucapan orang Arab badui itu, maka Rasulullah SAW pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badui itu sehingga air mata meleleh membasahi janggutnya.
Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata, “Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: “Berhentilah engkau daripada menangis, sesungguhnya karena tangisanmu, penjaga Arasy lupa bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga ia bergoncang. Sekarang katakan kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan menghitung kemaksiatannya. Allah sudah mengampunkan semua kesalahannya dan akan menjadi temanmu di syurga nanti.”
Betapa sukanya orang Arab badui itu, apabila mendengar berita itu dan menangis karena tidak berdaya menahan rasa terharu.

Minggu, 15 Mei 2011

Mush'ab bin Umair

Mush’ab bin Umair salah seorang di antara para sahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadi-nya: Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.
Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat: “Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum.”

Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Nlush’ab bin Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush’ab bin Umair atau “Mush’ab yang balk”, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi corak pribadi manakah?
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad al-Amin … Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da’i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.
Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.
Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar Sauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah saw. sering berkumpul dengan para shahabatnya, tempat mengajamya ayat-ayat al-Quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar.
Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.
Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam.
Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas — berlipat ganda dari ukuran usianya — dan mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah …!
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush’ab, seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat. la wanita yang disegani bahkan ditakuti.
Ketika Mush’ab menganut Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri, bahkan walau seluruh penduduk Mekah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush’ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya bagi Mush’ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah. Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majlis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.
Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak.
Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat al-Quran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketaqwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut puteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai — demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan — menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan.
Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya amat rapat.
Demikianlah beberapa lama Mush’ab tinggal dalam kurungan sampai saat bebeuapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lain pergi ke Habsyi melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muhajirin, lain pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.
Balk di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush’ab di tiap saat dan tempat kian meningkat.
Ia telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam la merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengurbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar …
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah saw. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai juSah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka — pakaiannya sebelum masuk Lslam — tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bihirnya tersungging senyuman mulia, seraya bersabda:
Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi daiam memperoleh k esenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalhannya semua itu demi cintanya hepada Allah dan Rasul-Nya.
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.
Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.
Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran fihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari fihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”.
Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: !’Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”.
Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut: “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu.
Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi”.
Demikian Mush’ab meninggalkari kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.
Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan ‘aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani …
Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama-Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peuistiwa besar.
Sebenamya di kalangan shahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih beupengarub dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”.
Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para da’i dan da’wah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam.
Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur.
Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka beuduyun-duyun masuk Islam.
Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit ‘Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-nya.
Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, Kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.
Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan.
la sadar bahwa tugasnya adalah menyerLi kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka ….
Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat; Kitab Suci dari Allah, menyampaian kalimattullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.
Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta shahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu di antaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan.
Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal.
Tetapi Tuhannya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam — yang diserukan beribadah kepada-Nya — oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorang pun yang dapat melihat-rjya.
Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk beusama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut.
Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.
Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”
Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam…, laksana terang dan damainya cahaya fajar …,terpancarlah ketulusan hati “Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya: “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”
Sebenamya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta petimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyauakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.
“Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat al-Quran dan menguraikan da’wah yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah saw., maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada shahabatnya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu .. ·! Dan apakah yang barns dilaknkan oleb orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab: “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”.
Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil meme·ras air dari rambutnya, lain ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah ….
Secepatnya berita itu pun tersiarlah. Keidaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula.
Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin ‘Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya-bertanya sesama mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu …. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celab giginya!”
Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya· Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para shahabatnya hijral ke Madinah.
Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadp hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisy pun beroleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggillah “Mush’ab yang baik”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.
Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, mereka meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan Kaum Muslimin beralih menjadi kekalahan.
Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin daui puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membantai Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Nlelihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuh pun menujukan st?rangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.
Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lain maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk bauisan tentara …
Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab beutempur laksana pasukan tentara besar …. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam …. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah .
Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceriterakan saat-saat terakhir pahlawan besar Mush’ab bin Umair.
Berkata Ibnu Sa’ad: “Diceriterakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-’Abdari dari bapaknya, ia berkata:
Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu &umaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan:
Muhammad itu tiada lain hanyaIah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul’: Maka dipegangnya bendera dengan tangan hirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mushab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya he dada sambil mengucaphan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasulj dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul’: Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mushab pun gugur, dan bendera jatuh ”
Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera …. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada …. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengurbanan dan keimanan. Di saat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”
Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat al-Quran yang selalu dibaca orang ….
Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia ….Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu.
Atau mungkin juga ia merasa main karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.
Wahai Mush’ab cukuplah bagimu ar-Rahman ….
Namamu harum semerbak dalam kehidupan ….
Rasulullah bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul’Urrat:
“Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara hami ada yang telah berlalu sebelum menikmati’ pahalanya di dunia ini sedihit pun juga. Di antaranya ialah Mush’ab bin Umair yang tewa s di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan dahinya tutupilah delagan rumput idzkhir!”
Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi …. Dan betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para shahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya …. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya …. Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat:
Di antara orang-orang Mu inin terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah.(Q.S. 33 al-Ahzab: 23)
Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda:
Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadamu. Tetapi seharang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.
Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru:
Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah.
Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, sabdanya:
Hai manusia! Berziarahlah dan berltunjunglah kepada mereka, serta ucaphanlah salam Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereha akan mem balasnya.
Salam atasmu wahai Mush’ab ….
Salam atasmu sekalian, wahai para syuhada ….
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Amar bin Thabit

SYAHID SELEPAS MENGUCAPKAN SYAHADAH
Suatu ketika tatkala Rasulullah s.a.w. sedang bersiap di medan perang Uhud, tiba-tiba terjadi hal yang tidak terduga. Seorang lelaki yang bernama Amar bin Thabit telah datang menemui Baginda s.a.w.. Dia rupanya ingin masuk Islam dan akan ikut perang bersama Rasulullah s.a.w. Amar ini berasal dari Bani Asyahali. Sekalian kaumnya ketika itu sudah Islam setelah tokoh yang terkenal Saad bin Muaz memeluk Islam. Tetapi Amar ini enggan mengikut kaumnya yang ramai itu. Keangkuhan jahiliyyah menonjol dalam jiwanya, walaupun dia orang baik dalam pergaulan. Waktu kaumnya menyerunya kepada Islam, ia menjawab, "Kalau aku tahu kebenaran yang aku kemukakan itu sudah pasti aku tidak akan mengikutnya." Demikian angkuhnya Amar.

Kaum Muslimin di Madinah pun mengetahui bagaimana keanehan Amar di tengah-tengah kaumnya yang sudah memeluk Islam. Ia terasing sendirian, hatinya sudah tertutup untuk menerima cahaya Islam yang terang benderang. Kini dalam saat orang bersiap-siap akan maju ke medan perang, dia segera menemui Rasulullah s.a.w. , menyatakan dirinya akan masuk Islam malah akan ikut berperang bersama angkatan perang di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w. . Pedangnya yang tajam ikut dibawanya. 

Rasulullah s.a.w.  menyambut kedatangan Amar dengan sangat gembira, tambah pula rela akan maju bersama Nabi Muhammad s.a.w.. Tetapi orang ramai tidak mengetahui peristiwa aneh ini, kerana masing-masing sibuk menyiapkan bekalan peperangan. Di kalangan kaumnya juga tidak ramai mengetahui keIslamannya. Bagaimana Amar maju sebagai mujahid di medan peperangan. Dalam perang Uhud yang hebat itu Amar memperlihatkan keberaniannya yang luar biasa. Malah berkali-kali pedang musuh mengenai dirinya, tidak dipedulikannya. Bahkan dia terus maju sampai saatnya dia jatuh pengsan.

"Untuk apa ikut ke mari ya Amar?" Demikian tanya orang yang hairan melihatnya, sebab sangka mereka dia masih musyrik. Mereka kira Amar ini masih belum Islam lalau mengikut sahaja pada orang ramai. Dalam keadaan antara hidup dan mati itu Amar lalu berkata, "Aku sudah beriman kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, lalu aku siapkan pedangku dan maju ke medan perang.  

Allah s.w.t. akan memberikan syahidah padaku dalam waktu yang tidak lama lagi." Amar meninggal. Rohnya mengadap ke hadrat Illahi sebagai pahlawan syahid. Waktu hal ini diketahui Rasulullah s.a.w. , maka Baginda s.a.w. pun bersabda,: "Amar itu nanti akan berada dalam syurga nantinya." Dan kaum Muslimin pun mengetahui akhir hayat Amar dengan penuh takjub, sebab di luar dugaan mereka. Malah Abu Hurairah r.a sahabat yang banyak mengetahui hadith Rasulullah s.a.w. berkata kaum Muslimin, "Cuba kamu kemukakan kepadaku seorang yang masuk syurga sedang dia tidak pernah bersyarat sekalipun juga terhadap Allah s.w.t.."

"Jika kamu tidak tahu orangnya." Kata Abu Hurairah r.a lagi, lalu ia pun menyambung, ujarnya, "Maka baiklah aku beritahukan, itulah dia Amar bin Thabit." Demikianlah kisah seorang yang ajaib, masuk syurga demikian indahnya. Ia tidak pernah solat, puasa dan lain-lainnya seperti para sahabat yang lain, sebab dia belum memeluk Islam. Tiba-tiba melihat persiapan yang hebat itu, hatinya tergerak memeluk Islam sehingga ia menemui Rasulullah s.a.w.

Ia menjadi Muslim, lalu maju ke medan perang, sebagai mujahid yang berani. Akhirnya tewas dia dengan mendapat syahadah iaitu pengakuan sebagai orang yang syahid. Mati membela agama Allah s.w.t. di medan perang. Maka syurgalah tempat bagi orang yang memiliki julukan syahid. Rasulullah s.a.w. menjamin syurga bagi orang seperti Amar ini.

Jumat, 12 November 2010

Abu Hurairah

Perawi hadist yang tidak bisa menulis.

Dengan daya ingatnya yang tajam, dia berhasil mendapatkan, mengoleksi, dan menyebarluaskan hadis, riwayat, dan perilaku Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat. Kedekatannya dengan Rasulullah membuat ia dianggap bayangan Nabi sendiri.

Hentikan pembicaraanmu tentang riwayat Rasulullah, kalau tidak kamu aku pulangkan ke kampungmu.” Kata Khalifah Umar bin Khattab suatu kali kepada Abu Hurairah. 

Ucapan itu mengandung kegusaran sang khalifah karena ia merasa terganggu dengan kegiatan Abu Hurairah yang sering mengungkapkan hadis dan riwayat Nabi kepada kaum muslimin pada tiap kesempatan. 

Masalahnya ketika itu Umar sedang mensosialisasikan Al-Quran yang sudah dihimpun dalam suatu kitab (mushaf) kepada kaum muslimin. Beliau tidak ingin kaum muslimin terganggu pikirannya dengan adanya bacaan lain selain Al-Quran.

Hal ini bisa dimaklumi karena ketika Umar memegang jabatan khalifah, perkembangan Islam baru dalam tahap awal, namun ancaman dari kaum Quraisy tetap tinggi. Mereka tidak segan-segan melakukan pembunuhan kepada orang-orang Islam yang dijumpai di mana saja. 

Tugas khalifah bukan hanya melindungi kaumnya tetapi juga mengisi jiwa mereka dengan kalam Ilahi, dalam hal ini Al-Quran. Apalagi tingkat kecerdasan mereka masih rendah. Untuk tidak mengaburkan pendalaman mereka terhadap wahyu-wahyu Ilahi, Umar menghendaki agar sosialisai Al-Quran itu tidak dicampuri dengan bacaan-bacaan lain.

Abu Hurairah sendiri merasa bahwa keberatan khalifah itu ada benarnya. Namun ia juga merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan hal-hal yang diketahuinya yang berasal dari Nabi SAW. Ia tidak ingin menyembunyikan hadis-hadis yang diyakininya benar karena ia mendapatkannya langsung dari Nabi. Ia merasa berdosa bila hadis-hadis itu tidak diungkapkan kepada kaum muslimin.

Apalagi, kala itu, ada usaha dari Ka’ab Al-Akhbar yang selalu melebih-lebihkan hadis Rasulullah sehingga membingungkan kaum muslimin yang mendengarnya. Ka’ab adalah orang Yahudi yang masuk Islam, namun karena ulahnya itu mendorong orang lain untuk memalsukan hadis demi kepentingan pribadi yang jelas tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. 

Mereka ini tidak segan-segan memanfaatkan nama Abu Hurairah, seolah-olah hadis yang mereka palsukan itu berasal dari Abu Hurairah.

Timbulnya hadis palsu ini sebenarnya juga tidak luput dari perhatian Kalifah Umar. Beliau bahkan telah mengemukakan gagasan bahkan telah mengemukakan gagasan untuk menuliskan hadis-hadis Nabi dalam suatu kitab. 

Namun karena pertimbangan tidak ingin membuat kerancuan tentang Al-Quran pada jemaahnya, ide itu tidak direalisasikan. Akibatnya pemalsuan hadis menjadi-jadi. Satu abad kemudian dua orang perawi hadis yaitu Imam Bukhari menemukan 600.000 hadis dan Abu Dawud menemukan 500.000 hadis. Setelah diseleksi hanya ada 40.000, dan 4.800 hadis yang sahih.

Abu Hurairah adalah nama panggilan yang diberikan teman-teman dekatnya karena kecintaannya kepada kucing. Begitu sayangnya kepada binatang yang satu ini sampai-sampai ia menyuapi, memandikan, dan menyediakan kandang.

Abu Hurairah artinya Bapak Kucing Kecil. Nama aslinya adalah ‘Abdus Syams (Hamba Matahari). Namun, setelah masuk Islam Nabi SAW memberi nama Abdurrahman (Hamba Allah, yang Maha Pemurah).

Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga miskin sebagai anak yatim. Sejak bertemu dengan Nabi pada tahun ketujuh kenabian, ia langsung masuk Islam dan boleh dibilang tidak pernah berpisah dengan beliau. 

Namun ibunya menolak masuk Islam. Bukan itu saja, ibunya juga selalu menyudutkan Nabi sehingga menyakitkan hati Abu Hurairah. Abu Hurairah mohon bantuan doa dari Nabi agar ibunya masuk Islam dan terkabul.

Mengenai kedekatannya dengan Nabi. Abu Hurairah menyatakan bahwa sebagai orang miskin ia tidak disibukkan dengan urusan tanah pertanian seperti halnya orang-orang Anshar atau urusan dagang di pasar seperti halnya orang-orang Muhajirin. “Jadi ketika mereka tidak bisa hadir (di samping Nabi) aku bisa, sehingga aku banyak menerima masukan dari beliau,” katanya.

Selain dekat dengan Nabi, Abu Hurairah memiliki daya ingat yang kuat yang diberkati Nabi sehingga tambah kuat. Itu sebabnya ia mampu menghafal di luar kepala semua hadis Nabi dan juga melaksanakannya sebagai pegangan hidup. 

Maka ia pun meriwayatkan hadis-hadis itu kepada kaum muslimin sebagai rasa tanggung jawab kepada Nabi dan agamanya secara terus-menerus sehingga Umar merasa “risi” ketika ia harus mensosialisasikan Al-Quran.” “Sibukkanlah dirimu dengan Al-Quran dan kurangilah meriwayatkan tentang Rasul kecuali amal perbuatannya,” kata Umar. Padahal menurut Abu Hurairah hadis juga mengandung kebenaran yang harus diungkapkan kepada umat.

Oleh Khalifah Umar ia diangkat sebagai gubernur di Bahrain. Menjelang akhir masa jabatan Umar memanggil pulang Abu Hurairah ke Medinah. Beliau menanyakan asal-muasal uang sepuluh ribu dinar yang ada dalam simpanan sang gubernur. “Uang itu berasal dari hasil penjualan anak-anak kuda milikku,” jawab Abu Hurairah.

“Serahkan uang tiu ke baitul maal”, perintah Umar. Umar memang terkenal sebagai khalifah yang sangat hati-hati memilih pembantu-pembantunya. Ia selalu mengingatkan para pembantunya agar tidak memperkaya diri dan hanya memiliki pakaian sebanyak dua setel, baik ketika diangkat maupun ketika mengakhiri jabatannya.

Abu Hurairah mematuhi perintah itu namun ia menolak ketika akan diangkat lagi sebagai gubernur d Bahrain. “Saya takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa kesabaran,” kilahnya.

Abu Hurairah menyadari bahwa aktivitasnya sebagai perawi hanya bisa disejajarkan dengan Abdulah bin Amr bin Al-‘Ash. Masalahnya, “Abdullah bisa menulis sedangkan aku tidak bisa,” katanya. Namun sekitan tahun kemudian peranan Abu Hurairah itu disakui oleh Imam Syafii dan Imam Bukhari. 

Kedua perawi ini sependapat bahwa Abu Hurairah adalah rujukan para sahabat dalam soal hadis Nabi. “Tidak ada orang yang mampu meriwayatkan hadis Nabi sebaik Abu Hurairah,” kata Imam Bukhari.

Pada tahun 59 H ia wafat pada usia 78 tahun, dikubur di pemakaman Baqi, yang tak begitu jauh dari makam Rasulullah di ujung kiri Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah.


Penyerahan Kunci Yerusalem kepasa Umar



 Suatu hari di tahun 638M, Uskup dari Yerusalem mengumumkan bahwa seorang pemimpin besar Islam, ‘Umar bin Khattab, akan datang untuk menandatangani perjanjian damai dan perlindungan khalifah bagi kota suci Yerusalem.

Maka seluruh penduduk Yerusalem pun tumpah ruah di gerbang kota. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan tampak bersiap menanti arak-arakan kunjungan kenegaraan yang akan tiba, untuk melihat, menyambut dan mengucapkan selamat datang kepada khalifah yang terkenal karena keadilannya itu.

Namun arak-arakan yang diharapkan itu tidak ada. Di cakrawala mereka hanya melihat dua orang yang sederhana bersama seekor unta yang kelelahan. Salah seorang dari mereka duduk di atas punggung unta, dan yang lainnya berjalan kaki sambil menuntun untanya.

Mengira bahwa khalifah pastilah yang duduk di punggung unta, segera seluruh penduduk kota berlarian menyongsong dan menyalami sang penunggang unta untuk menyambutnya, tapi… nanti dulu. “Aku bukanlah Khalifah Islam yang kalian nantikan. Aku hanyalah pengawalnya,” penunggang unta itu mencoba menjelaskan.

Dalam melewati perjalanan jauh dari Damaskus ke Jerusalem, ‘Umar menghargai pengawalnya dengan bergantian menaiki unta mereka. Pada saat menjelang tiba di gerbang kota, merupakan giliran ‘Umar  lah yang berjalan menuntun unta.

Semua orang takjub dengan pribadi sang pemimpin besar Islam itu. Saat tiba waktu shalat, sang Uskup mengajak ‘Umar ke sebuah gedung yang indah dan mempersilahkan ‘Umar shalat di sana. Menyadari bahwa gedung itu tempat suci orang Kristen, ‘Umar memilih shalat di depan pintu gereja.

Mengapa? Haramkah shalat di sana? “Jika saya shalat di tempat suci kalian,” demikian kata ‘Umar kepada sang Uskup setelah selesai shalat, “para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah shalat di dalamnya.

Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat di luar.” Jerusalem adalah kota suci agama-agama besar.

Tanahnya telah dibasahi dan disuburkan oleh ribuan darah manusia —sejak abad ke 20 SM hingga sekarang, abad ke-20 M— yang berperang atas nama agama dan berpindah tangan berkali-kali. Namun dengan kuasa cinta, mereka dengan suka cita masuk kekuasaan Islam ditangan seorang ‘Umar, pengawalnya dan seekor unta, sebagaimana Ibrahim a.s diterima Melchizedek, Raja Salem (Jerusalem) pada tahun 1900 SM. Memuji Allah sambil menghancurkan orang lain bukanlah jihad.

Mengapa Dia mengirimkan para Nabi dan Rasul jika Dia bertindak seperti itu? Rasulullah Muhammad saw sendiri diutus bukannya untuk memusnahkan manusia; dia diutus dengan kebijaksanaan yang dapat menunjukkan kepada manusia bagaimana ia mengalahkan kejahatannya sendiri.

Dan jika umatnya telah mampu mengikis habis sifat-sifat jahat dalam dirinya, maka tidak akan ada lagi permusuhan dan perbedaan di antara manusia: semuanya sama, anak cucu Adam a.s, makhluk Tuhan.

Matahari tidak pernah memilih kepada siapa dia curahkan sinarnya, bulan tidak pernah memilih kepada siapa dia usapkan kelembutannya, mengapa kita harus memilih memberikan kasih sayang kepada sesama? Jika kita menerima dan memahami Islam, maka kita tidak akan menganggap siapapun sebagai musuh.

Kita tidak akan lagi melihat perbedaan apapun dan membuat pertentangan, apalagi melakukan ‘takfirisme’ (mengkafirkan orang lain) kepada sesama muslim. Allah memberikan payung perahmatan Islam ini bukan hanya kepada umat Islam, tapi kepada manusia bahkan seluruh alam semesta.

Islam bukanlah agama untuk pertentangan, peperangan dan kehancuran, jika ada yang demikian tentulah bukan ajaran Islam. Islam adalah rahmatan lil-’âlamîn. Ajarannya bukanlah untuk mementingkan (ego) diri sendiri, golongan sendiri, agama atau manusia, tapi bukan pula untuk tidak memiliki kepentingan.

Ajarannya adalah untuk mencurahkan kasih sayang, keselamatan dan kedamaian kepada seisi alam semesta. Untuk merahmati alam semesta. Islam hanya memandang yang Satu; satu keadilan, keimanan, kebijakan dan kebenaran untuk apa dan siapa saja. Itulah yang dikatakan Uskup kepada ‘Umar saat memberikan kunci Kota Suci Jerusalem.

Namun dia kemudian bertanya, “Tetapi berapa lamakah kunci itu akan tetap di tanganmu? Kapankah tempat suci ini akan kembali kepada kami?”. Jawab ‘Umar, “Hari ini, tempat ini memang telah beralih kepada kami.

Dengan empat sifat; keimanan, kebijakan, keadilan dan kebenaran, kota ini beralih pada kami. Selama empat sifat itu dimiliki dan diamalkan kaum muslimin, maka mereka akan mempertahankan kota ini. Tetapi jika sifat-sifat itu terpisah dari Islam, maka tempat ini akan berpindah tangan sekali lagi.” ‘Umar kemudian melanjutkan,

“Ketika hal itu terjadi (perpindahan tangan Jerusalem), kaum muslimin seakan tepung dalam adonan dan yang merebutnya hanyalah sedikit garam”. Perkataan ‘Umar terbukti benar adanya. Selama umat Islam memiliki keempat sifat ini dan hidup dalam kasih sayang dan memberikan ketentraman kepada orang lain, kedamaian akan ditemukan dalam Islam.

Namun apabila keadilan ini berubah, keadilan akan hilang, maka tibalah saatnya kita tidak menemukan kedamaian dalam Islam dan di dunia. Rasa kasih sayang dan perdamaian adalah kekuatan Islam, yang akan memberikan kekuatan dan kedamaian pada seluruh dunia.

Inilah yang menaklukan dunia: dengan menaklukan hati dengan cinta. Pedang tidak akan menaklukan dunia; cinta lebih tajam dari pedang. Cinta itulah pedang agung nan lembut; pedang hanyalah ilusi ego dan kekuasaan. Dan rahmat-Nya pun mendahului murka-Nya. Hamba mohon ampunan-Mu. Hamba mohon pertolongan dan rahmat-Mu


Abdullah bin Ummi Maktum

Si Buta yang Membuka Mata Hati Rasulullah
Karena dia, Rasulullah menerima 16 ayat yang senantiasa dibaca sampai hari kiamat.

Pada masa awal Islam, Rasulullah sering berdialog dengan para pentolan Quraisy agar mereka menghentikan penganiayaan terhadap kaum muslimin. Suatu hari ketika beliau tengah berbincang-bincang dengan ‘Utbah bin Rabi’ah dan adiknya, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Ummayah bin Khalaf, dan Walid bin Muqhirah, masuklah seorang laki-laki yang berjalan dengan bantuan tongkat. Ya, laki-laki itu buta.

“Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepadamu,” kata Abdullah bin Ummi Maktum, laki-laki tunanetra itu.

Tapi apa reaksi Rasulullah SAW? Beliau tidak mempedulikan permintaan itu, dan meneruskan diskusinya dengan kelima pemuka Quraisy tersebut, karena beliau sangat berharap mereka bersedia masuk Islam sehingga mampu memperkuat barisan kaum muslimin.

Usai diskusi, Rasulullah bermaksud pulang. Namun kepalanya tiba-tiba terasa berat dan penglihatannya menjadi gelap. Saat itulah Allah memperingatkan utusan-Nya itu dengan firman-Nya seperti termaktub dalam surah ‘Abasa, ayat 1-16. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.

Tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun (terhadap) orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy itu), kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). 

Dan adapun (terhadap) orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah), kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan; maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (utusan), yang mulia lagi berbakti.”

Sejak saat itu Rasulullah SAW selalu memperlakukan Abdullah dengan baik, menanyakan keadaannya, dan memenuhi kebutuhannya. Memang teguran dari langit itu sangat keras. Tidak pantas beliau memperlakukan orang buta seperti itu. Apalagi dia minta diajari ayat-ayat suci milik Allah.

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengna sikap beliau kepada Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Setelah Perang Badar usai, Allah melalui firman-firman-Nya mengangkat derajat kaum muslimin yang ikut berperang membela agama-Nya. Kelebihan-kelebihan yang didapat jika seseorang berjuang di jalan Allah lalu mati syahid. 

Ayat-ayat tersebut sangat mengesankan hati Abdullah bin Ummi Maktum. Tapi baginya bukan perkara mudah untuk bisa meraih kemuliaan itu, karena kondisi matanya yang buta. “Seandainya tidak buta, aku pasti ikut berperang fi sabilillah,” katanya kepada Rasulullah kemudian.

Kepada Allah dia berdoa agar diturunkan ayat-ayat bagi orang-orang cacat atau uzur seperti dia, yang ingin berjuang di jalan Allah. “Ya Allah, turunkanlah ayat mengenai orang-orang yang cacat dan uzur seperti aku,” doanya.

Tidak lama berselang, Allah menjawab doa Abdullah lewat Rasulullah SAW, seperti termaktub dalam surah An-Nisa ayat 95, yang maknanya, “Tidak sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. 

Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang duduk dengan pahala yang besar.”

Meski sudah ada pengecualian seperti itu, Abdullah tetap bertekad ingin ikut perang fi sabilillah. “Tarulah saya di antara dua barisan sebagai pembawa bendera,” pintanya. “Saya akan memegang erat-erat bendera itu dan tidak akan lari, karena saya buta.”

Keinginan dan harapan itu lama sekali baru terkabul, yaitu saat kekhalifahan Umar bin Khaththab. Ketika pecah Perang Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum tampil dengan baju zirah dan membawa bendera kaum muslimin maju ke medan pertempuran. Ia berjanji akan selalu mengibarkannya atau mati di samping bendera itu. 

Dalam peperangan yang dikomandani sahabat Saad bin Abi Waqqash itu, tujuan kaum muslimin adalah untuk memerangi negeri Persia yang zhalim.

Perang itu hanya berjalan tiga hari, kemenangan diraih pasukan kaum muslimin dan merupakan kemenangan terbesar. Namun Abdullah bin Ummi Maktum wafat sebagai syuhada, seperti yang dicita-citakannya. Abdullah gugur sambil memeluk bendera kaum muslimin.

Sebagaimana Rasulullah SAW, Abdullah bin Ummi Maktum juga penduduk Makkah dari suku Quraisy. Bahkan dia masih mempunyai pertalian kekerabatan dengan junjungan kita itu, karena dia saudara sepupu Siti Khadijah RA, istri Rasulullah.

Abdullah lahir dari pasangan Qais bin Zaid dan Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar Ummi Maktum, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam keadaan buta total.

Meski buta, Allah melapangkan dadanya dengan menerima agama baru itu. Maka siksaan dari kaum Quraisy pun ikut melanda tubuhnya. Agaknya orang-orang Quraisy tidak pilih bulu dalam usahanya memerangi kaum muslimin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah Abdullah dalam memeluk agama yang agung dan lurus itu. 

Dia rajin mendatangi majelis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al-Quran. Setiap kesempatan luang selalu diisi sendiri dengan membasahi lidahnya dengan ayat-ayat suci.

Ketika Rasulullah memutuskan berhijrah ke Madinah karena tingginya tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin. Abdullah bin Ummi Maktum tak mau ketinggalan. Ia tiba di Madinah bersama sahabat-sahabat yang lain dalam rombongan yang pertama. 

Setelah Rasulullah tiba di sana, beliau mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah menjadi muadzin. Apabila Bilal mengumandangkan adzan, Abdullah yang melakukan iqamah. Begitu pula sebaliknya, bila Abdullah yang adzan, Bilal yang iqamah.

Abdullah dikaruniai umur yang panjang sampai pada masa khalifah kedua, Umar bin Khathtab. Selama itu pula, dalam kebutaannya, dia tetap tercatat sebagai sahabat yang teguh menjalankan ajaran Islam yang diwariskan sepupunya, Muhammad bin Abdullah, Rasulullah SAW, nabi terakhir.


Abdullah bin Salam

Dia seorang pendeta yang hatinya bergetar ketika bertemu Rasulullah, dan akhirnya menjadi sahabat yang setia.
Hushain bin Salam adalah kepala pendeta Yahudi di Madinah. Meskipun penduduk Madinah berlainan agama dengannya, mereka menghormati Hushain, karena dia dikenal sebagai orang yang taqwa, baik hati, istiqamah, dan jujur.

Kehidupan Hushain tenang dan damai. Waktu baginya sangat berharga dan bermanfaat. Dia membagi waktunya dalam tiga bagian: sepertiga pertama digunakan di gereja untuk mengajar dan beribadat, sepertiga kedua digunakan di kebun untuk merawat, dan membersihkan kebun, dan sepertiga terakhir untuk membaca kitab Taurat dan memperdalam ilmu yang diajarkan agama.

Setiap kali bertemu dengan ayat yang memberi kabar gembira (bisyarah) tentang kebangkitan seorang nabi di Makkah, untuk menyempurnakan risalah para nabi yang terdahulu dan sebagai penutup kebangkitan para nabi, selalu dibacanya berulang-ulang, dipelajarinya lebih mendalam sifat-sifat atau ciri-ciri nabi yang ditunggu-tunggu itu.

Dia sangat gembira setelah tahu bahwa nabi yang akan muncul itu akan hijrah ke negerinya, Madinah. Maka setiap dibacanya ayat-ayat yang memberitakan kabar itu, terlintas di hatinya akan kedatangan nabi tersebut, lalu dia berdoa kepada Allah semoga umurnya dipanjangkan untuk menyaksikan kebangkitan nabi yang ditunggu-tunggu, semoga dapat kesempatan bertemu dengannya, dan menjadi orang pertama yang menyatakan iman kepadanya.

Allah mengabulkan doa Hushain dengan memanjangkan umurnya sampai kebangkitan Nabiyyul Huda war Rahmah. Allah menetapkan keberuntungan baginya bertemu dan bersahabat dengan nabi yang dinanti-nantikannya, serta iman dengan agama yang dibawanya.

Maka ketika mendengar berita tentang kemunculan Rasulullah SAW, Hushain segera meneliti nama, silsilah, sifat-sifat, zaman, dan tempat kebangkitannya, dicocokkan dengan yang tertulis dalam kitab Taurat, sehingga ia yakin tentang kenabiannya. 

Dengan hati-hati dan cermat ia memastikan tentang kebenaran dakwahnya. Meski telah memperoleh kepastian, ia menyimpan untuk dirinya sendiri dan akan membukanya pada waktu yang tepat.

Pada suatu ketika, saat ia tengah bekerja membersihkan pohon kurma, seorang munadi (juru seru) memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa Rasulullah sudah berada di Madinah. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” Hushain berseru demi mendengar hal itu.

Bibinya, Khalidah binti Harits, yang duduk di bawah pohon kurma, menukas, “Allah mengecewakan kamu, demi Allah! Seandainya kamu mendengar kedatangan Musa bin Imran, kamu toh tidak dapat berbuat apa-apa lebih dari itu!”

“Hai, Bibi, demi Allah, dia itu adalah saudara Musa, dan agamanya sama,” jawab Hushain. “Dia dibangkitkan dengan agama Musa juga.”
“Diakah nabi yang selalu kamu ceritakan itu, membenarkan dan menyempurnakan risalah-risalah Tuhannya?” tanya si bibi.

“Ya, betul, Bibi,” jawab Hushain.
“O, jadi diakah orangnya?”

Kemudian Hushain berusaha menemui Rasulullah, berdesak-desakan dengan orang ramai, sebelum akhirnya dapat berhadapan dengan Rasulullah. Saat itu Hushain mendengar Rasulullah mengucapkan kata-kata yang menyentuh hatinya. “Hai Manusia, sebar luaskanlah salam. 

Berilah makan orang yang kelaparan. Shalatlah tengah malam, ketika orang banyak sedang tidur nyenyak. Pasti kamu masuk surga dan bahagia.”

Selanjutnya Hushain bercerita, “Aku pandangi beliau dengan ilmu firasat, dan mataku lekat padanya. Aku yakin, wajahnya tidak menunjukkan wajah orang pembohong. Lalu kuhampiri beliau sambil mengucapkan dua kalimah syahadat: Aku mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dna sesungguhnya Muhammad rasul Allah.
Beliau menoleh kepadaku, seraya bertanya, ‘Siapa Tuan?’

‘Hushain (kuda kecil) bin Salam’, jawabku.
‘Mestinya Abdullah (hamba Allah) bin Salam,’ kata beliau mengganti namaku dengan nama yang lebih baik.
Aku setuju…!Abdullah bin Salam…!’Demi Allah, yang mengutusmu dengan agama yang benar, mulai hari ini aku tidak suka lagi memakai nama yang lain selain Abdullah bin Salam,’ kataku.

Sesudah itu aku pulang ke rumah. Lalu aku ajak istri, anak-anak, dan keluargaku masuk Islam. Bibi Khalidah, yang sudah cukup tua, pun turut masuk Islam. Namun, kepada mereka aku minta agar hal itu dirahasiakan untuk sementara waktu.

‘Ya Rasulullah, kaum Yahudi suka berbohong dan sesat. Aku harap, Tuan memanggil pemimpin mereka dan ajaklah mereka masuk Islam. Namun, tolong sembunyikan aku dan jangan katakan bahwa aku telah masuk Islam.’

Di hadapan pemimpin kaum Yahudi itu, Rasulullah mengingatkan mereka tentang ayat-ayat kitab Taurat dan mengajak mereka masuk Islam. Tapi mereka membantah dan mengajak berdebat tentang kebenaran. Semua itu aku dengar dengan jelas.

Ketika Rasulullah merasa tidak ada harapan mereka akan beriman, beliau bertanya, ‘Bagaimana kedudukan Hushain bin Salam di hadapan kalian?’

‘Dia pemimpin kami, kepala pendeta kami, dan orang alim kami,’ jawab mereka.
‘Bagaimana pendapat kalian jika dia masuk Islam, maukah kalian masuk Islam bersama dia?’ tanya Rasulullah.
‘Tidak mungkin! Tidak mungkin dia masuk Islam,’ jawab mereka.

Aku keluar dari kamar Rasulullah dan menemui mereka. ‘Hai, orang-orang Yahudi,’ kataku, “bertaqwalah kalian kepada Allah, terimalah agama yang dibawa Muhammad. Demi Allah, sesungguhnya kalian sudah tahu bahwa Muhammad itu benar Rasulullah. 

Bukankah kalian telah membaca dalam Tuarat nama dan sifat-sifatnya? Aku mengakui bahwa sesungguhnya dia Rasulullah, dan aku beriman kepadanya, aku membenarkan segala ucapannya, dan aku meyakininya.’

‘Kau bohong!” kata mereka. ‘Sesungguhnya kau jahat dan sangat bodoh!’ kemudian sumpah serapah pun mengalir dari mulut-mulut mereka, diarahkan kepadaku.

Kepada Rasulullah, aku berkata, ‘Begitulah mereka. Sesungguhnya orang Yahudi suka berbohong dan pandai berkata yang batil. Mereka pandai menipu dan berbuat kejahatan’.”

Abdullah bin Salam menerima Islam seperti orang kehausan yang menemukan air di telaga yang bening. Dia sangat senang membaca Al-Quran sehingga lidahnya selalu basah dengan ayat-ayat Allah yang mulia itu. 

Dia mengasihi Nabi SAW dan selalu dekat dengan beliau. Dia selalu menjaga diri untuk beramal dan mengharapkan surga sampai suatu saat Rasulullah memberinya kabar gembira dengan surga dan diketahui para sahabat.

Seorang sahabat berkisah, “Pada suatu hari aku sedang belajar di sebuah halaqah (kelompok belajar) masjid Rasulullah di Madinah. Dalam halaqah itu terdapat seorang tua yang ramah dan menyenangkan hati. 

Penampilannya sangat manis dan mengesankan semua orang. Ketika orang tua itu pergi, jamaah berkata, ‘Siapa yang ingin menengok laki-laki penduduk surga, tengoklah orang itu.’
Aku bertanya, ‘Siapa dia?’

‘Abdullah bin Salam,’ jawab mereka.
‘Demi Allah, akan aku ikuti orang itu,’ kataku dalam hati.

Lalu kuikuti dia sampai ke rumahnya di luar kota Madinah. Setiba di sana aku minta izin masuk dan dipersilakan.
‘Anak muda, apa keperluanmu datang kemari?’ dia bertanya.

‘Aku mendengar orang-orang bicara tentang diri Bapak ketika Bapak keluar dari masjid tadi,’ kataku. ‘Kata mereka: Siapa yang ingin menengok lelaki penghuni surga, tengoklah orang itu.
Mendengar ucapan mereka itu, aku ikuti Bapak hingga sampai kemari, karena ingin tahu mengapa orang banyak mengatakan bahwa Bapak penduduk surga.’

Jawabnya, ‘Allah yang paling mengetahui tentang penduduk surga.’
Kataku, ‘Ya tentu, tapi pasti ada sebabnya mengapa mereka berkata demikian.’
‘Akan kujelaskan kepadamu sebab-sebabnya,’ jawab orang tua itu.

‘Silakan, Pak, semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan yang lebih baik,’ kataku.
‘Pada suatu malam ketika Rasulullah masih hidup, aku bermimpi. Seorang laki-laki datang kepadaku seraya berkata: Bangun, bangun!

Aku bangun, lalu ditariknya tanganku. Tiba-tiba aku melihat sebuah jalan di sebelah kiriku. ‘Ke mana nih?’ aku bertanya.

‘Jangan turuti jalan itu,’ jawabnya. ‘Itu bukan jalanmu.’
Tiba-tiba aku melihat jalan terang benderang di sebelah kananku.
‘Lewatilah jalan itu,’ katanya kepadaku.

Aku telusuri jalan itu hingga sampai ke sebuah taman luas yang asri oleh pepohonan yang hijau dan indah. Di tengah taman terdapat sebuah tiang besi, pangkalnya tertancap di tanah dan ujungnya sampai ke langit. Di puncaknya terdapat sebuah halaqah berlapis emas. Kata orang itu, ‘Panjatilah tiang itu.’
‘Aku tidak bisa,’ jawabku.

Maka datang seorang khadam yang membantuku naik hingga ke puncak tiang besi itu dan aku dibawa ke halaqah tadi. Di sana aku tinggal sampai pagi dengan perasaan yang sangat bahagia.
Setelah pagi hari, aku segera menemui Rasulullah dan menceritakan mimpiku itu.

Beliau bersabda, ‘Jalan yang engkau lihat di sebelah kiri adalah jalan penduduk neraka (ash habusysyimal), dan jalan yang engkau lalui adalah jalan penduduk surga (ashhabul yamin). Taman yang menjadikan engkau rindu dengan kehijauannya, itulah Islam. 

Adapun tiang yang terpancang di tengah-tengah taman itu adalah tiang agama. Sedangkan halaqah itulah pegangan yang kokoh, kuat, yang dengannya engkau senatiasa harus berpegangan sampai mati.”

Seutama-utamanya manusia, bagi Allah SWT, ialah yang mendahului Salam (HR At-Tirmidzi)