Jumat, 12 November 2010

Abdullah bin Ummi Maktum

Si Buta yang Membuka Mata Hati Rasulullah
Karena dia, Rasulullah menerima 16 ayat yang senantiasa dibaca sampai hari kiamat.

Pada masa awal Islam, Rasulullah sering berdialog dengan para pentolan Quraisy agar mereka menghentikan penganiayaan terhadap kaum muslimin. Suatu hari ketika beliau tengah berbincang-bincang dengan ‘Utbah bin Rabi’ah dan adiknya, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Ummayah bin Khalaf, dan Walid bin Muqhirah, masuklah seorang laki-laki yang berjalan dengan bantuan tongkat. Ya, laki-laki itu buta.

“Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepadamu,” kata Abdullah bin Ummi Maktum, laki-laki tunanetra itu.

Tapi apa reaksi Rasulullah SAW? Beliau tidak mempedulikan permintaan itu, dan meneruskan diskusinya dengan kelima pemuka Quraisy tersebut, karena beliau sangat berharap mereka bersedia masuk Islam sehingga mampu memperkuat barisan kaum muslimin.

Usai diskusi, Rasulullah bermaksud pulang. Namun kepalanya tiba-tiba terasa berat dan penglihatannya menjadi gelap. Saat itulah Allah memperingatkan utusan-Nya itu dengan firman-Nya seperti termaktub dalam surah ‘Abasa, ayat 1-16. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.

Tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun (terhadap) orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy itu), kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). 

Dan adapun (terhadap) orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah), kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan; maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (utusan), yang mulia lagi berbakti.”

Sejak saat itu Rasulullah SAW selalu memperlakukan Abdullah dengan baik, menanyakan keadaannya, dan memenuhi kebutuhannya. Memang teguran dari langit itu sangat keras. Tidak pantas beliau memperlakukan orang buta seperti itu. Apalagi dia minta diajari ayat-ayat suci milik Allah.

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengna sikap beliau kepada Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Setelah Perang Badar usai, Allah melalui firman-firman-Nya mengangkat derajat kaum muslimin yang ikut berperang membela agama-Nya. Kelebihan-kelebihan yang didapat jika seseorang berjuang di jalan Allah lalu mati syahid. 

Ayat-ayat tersebut sangat mengesankan hati Abdullah bin Ummi Maktum. Tapi baginya bukan perkara mudah untuk bisa meraih kemuliaan itu, karena kondisi matanya yang buta. “Seandainya tidak buta, aku pasti ikut berperang fi sabilillah,” katanya kepada Rasulullah kemudian.

Kepada Allah dia berdoa agar diturunkan ayat-ayat bagi orang-orang cacat atau uzur seperti dia, yang ingin berjuang di jalan Allah. “Ya Allah, turunkanlah ayat mengenai orang-orang yang cacat dan uzur seperti aku,” doanya.

Tidak lama berselang, Allah menjawab doa Abdullah lewat Rasulullah SAW, seperti termaktub dalam surah An-Nisa ayat 95, yang maknanya, “Tidak sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. 

Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang duduk dengan pahala yang besar.”

Meski sudah ada pengecualian seperti itu, Abdullah tetap bertekad ingin ikut perang fi sabilillah. “Tarulah saya di antara dua barisan sebagai pembawa bendera,” pintanya. “Saya akan memegang erat-erat bendera itu dan tidak akan lari, karena saya buta.”

Keinginan dan harapan itu lama sekali baru terkabul, yaitu saat kekhalifahan Umar bin Khaththab. Ketika pecah Perang Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum tampil dengan baju zirah dan membawa bendera kaum muslimin maju ke medan pertempuran. Ia berjanji akan selalu mengibarkannya atau mati di samping bendera itu. 

Dalam peperangan yang dikomandani sahabat Saad bin Abi Waqqash itu, tujuan kaum muslimin adalah untuk memerangi negeri Persia yang zhalim.

Perang itu hanya berjalan tiga hari, kemenangan diraih pasukan kaum muslimin dan merupakan kemenangan terbesar. Namun Abdullah bin Ummi Maktum wafat sebagai syuhada, seperti yang dicita-citakannya. Abdullah gugur sambil memeluk bendera kaum muslimin.

Sebagaimana Rasulullah SAW, Abdullah bin Ummi Maktum juga penduduk Makkah dari suku Quraisy. Bahkan dia masih mempunyai pertalian kekerabatan dengan junjungan kita itu, karena dia saudara sepupu Siti Khadijah RA, istri Rasulullah.

Abdullah lahir dari pasangan Qais bin Zaid dan Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar Ummi Maktum, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam keadaan buta total.

Meski buta, Allah melapangkan dadanya dengan menerima agama baru itu. Maka siksaan dari kaum Quraisy pun ikut melanda tubuhnya. Agaknya orang-orang Quraisy tidak pilih bulu dalam usahanya memerangi kaum muslimin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah Abdullah dalam memeluk agama yang agung dan lurus itu. 

Dia rajin mendatangi majelis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al-Quran. Setiap kesempatan luang selalu diisi sendiri dengan membasahi lidahnya dengan ayat-ayat suci.

Ketika Rasulullah memutuskan berhijrah ke Madinah karena tingginya tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin. Abdullah bin Ummi Maktum tak mau ketinggalan. Ia tiba di Madinah bersama sahabat-sahabat yang lain dalam rombongan yang pertama. 

Setelah Rasulullah tiba di sana, beliau mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah menjadi muadzin. Apabila Bilal mengumandangkan adzan, Abdullah yang melakukan iqamah. Begitu pula sebaliknya, bila Abdullah yang adzan, Bilal yang iqamah.

Abdullah dikaruniai umur yang panjang sampai pada masa khalifah kedua, Umar bin Khathtab. Selama itu pula, dalam kebutaannya, dia tetap tercatat sebagai sahabat yang teguh menjalankan ajaran Islam yang diwariskan sepupunya, Muhammad bin Abdullah, Rasulullah SAW, nabi terakhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar