Jumat, 12 November 2010

Ashim bin Tsabit

Jasad pahlawan Perang Uhud ini hampir termakan sumpah Sulafah. Namun, Allah SWT melindunginya dari kebiadaban niat perempuan Quraisy itu.

Siang itu, kaum Quraisy, baik sayyid (bangsawan) maupun ‘abid (hamba sahaya), semuanya keluar untuk memerangi Muhammad bin Abdullah di Uhud. Kedengkian dan nafsu hendak membunuhnya di Badar masih membakar darah mereka. 

Tidak hanya laki-laki, bahkan perempuan bangsawan Quraisy pun turut pula ke Uhud untuk menggelorakan semangat perang para pahlawan mereka dan menggelorakan semangat para lelaki bila ternyata kendur atau melempem.

Di antara para perempuan itu terdapat Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb; Raithah binti Munabbih, istri ‘Amr bin Ash; Sulafah binti Sa’ad, istri Thalhah, serta ketiga anak lelakinya, Musafi, Julas, dan Kilab; dan lain-lain.

Ketika pasukan muslim dan musyrikin telah berhadap-hadapan di Uhud, dan api peperangan mulai menyala, Hindun binti ‘Utbah dan beberapa perempuan lain berdiri di belakang pasukan laki-laki. Mereka memegang rebana, memukulnya sambil menyanyikan lagu-lagu perang. Lagu-lagu itu membakar semangat prajurit berkuda, dan membuat para suami seperti kena sihir.

Setelah pertempuran itu usai, dan ternyata kaum muslimin menderita kekalahan, para perempuan Quraisy pun berlompatan, berlari-lari ke tengah lapangan pertempuran, mabuk kemenangan. Mereka merusak mayat-mayat kaum muslimin yang tewas dalam pertempuran, dengan cara yang sangat keji. Perut mayat-mayat itu mereka belah, matanya dicongkel, telinga dan hidung mereka dipotong.

Bahkan ada seorang di antara mereka tidak puas dengan cara seperti itu. Hidung dan telinga mayat-mayat itu dibuatnya menjadi kalung, lalu dipakai, untuk membalaskan dendam bapak, saudara, atau paman mereka yang terbunuh dalam Perang Badar.

Sulafah binti Sa’ad lain pula gayanya. Hatinya guncang dan gelisah menunggu kemunculan suami dan ketiga anaknya. Dia berdiri bersama kawan-kawannya yang sedang dimabuk kemenangan. Setelah lama menunggu dengan sia-sia, akhirnya dia masuk ke lapangan pertempuran, sampai jauh ke dalam. Diperiksanya satu per satu wajah mayat-mayat yang bergelimpangan.

Tiba-tiba dia menemukan mayat suaminya terbaring berlumuran darah. Dengan pandangan hampa, dilayangkannya pandangan ke segala arah, mencari anak-anaknya. Tak berapa lama, didapatinya Musafi dan Kilab pun telah tewas. Sedangkan Julas masih hidup, dengan sisa-sisa napasnya.

Dipeluknya tubuh anaknya yang dalam keadaan sekarat itu. Kemudian kepala anaknya itu dia taruh dipahanya, dibersihkannya darah pada kening dan mulut anak itu. Air matanya terkuras oleh penderitaan yang hebat yang dialaminya hari itu. “Siapa lawan yang telah melukaimu, Nak?” Sulafah bertanya sambil mengguncang kepala anaknya. “Siapa?”

Di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal, Julas masih mampu menyebut nama, “Ashim bin Tsabit. Dia pula yang membunuh Ayah dan…”Belum habis dia bicara, napasnya telah putus, nyawanya telah dicabut malaikat maut.

Ibu tiga anak itu menangis sekeras-kerasnya. Kemudian, dari mulutnya terlontar sumpah, demi Lata dan Uzza, tidak akan makan dan menghapus air mata, kecuali bila orang Quraisy membalaskan dendamnya terhadap ‘Ashim bin Tsabit, dan memberikan batok kepalanya untuk dijadikan mangkuk tempat minum khamar. 

Dia berjanji akan memberikan hadiah sebanyak yang diminta, kepada orang yang dapat menyerahkan ‘Ashim kepadanya, hidup atau mati.

Sumpah Sulafah itu segera tersiar dengan cepat di seluruh telinga warga Quraisy dan mereka menganggapnya sebagai perlombaan. Setiap pemuda Makkah berharap dapat memenangkan lomba tersebut untuk meraih hadiah besar itu. Maklum, Sulafah adalah wanita kaya.

Seusai Perang Uhud, kaum muslimin kembali ke Madinah. Mereka membicarakan pertempuran yang baru saja mereka alami dengan perasaan sedih atas kepergian pahlawan-pahlawan yang mati syahid, memuji keberanian orang-orang yang luka, dan sebagainya. 

Mereka pun tak lupa menyebut keberanian ‘Ashim bin Tsabit dan mengaguminya sebagai pahlawan yang tak terkalahkan. Mereka kagum, bagaimana ‘Ashim mampu merobohkan tiga bersaudara putra Thalhah sekaligus.

Seorang di antaranya berkata, “Itu masalah yang tak perlu diherankan. Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan kepada para sahabat beberapa saat sebelum berkobar Perang Badar agar mereka berperang seperti ‘Ashim!”

Ya, saat itu ‘Ashim mengutarakan kiatnya berperang kepada Baginda Nabi, yaitu, “Jika musuh berada di hadapanku seratus hasta, aku panah dia. Jika musuh mendekat dalam jarak tikaman lembing, aku bertarung dengan lembing sampai patah. Jika lembingku patah, kuhunus pedang, lalu aku main pedang.”

Saat itu Nabi menimpali, “Begitulah berperang. Siapa yang hendak berperang, berperanglah seperti ‘Ashim.”
Tak berapa lama setelah Perang Uhud, Rasulullah di Madinah memilih enam orang sahabat untuk melaksanakan suatu tugas penting di Makkah, dan mengangkat ‘Ashim sebagai pemimpinnya. 

Keenam orang pilihan ini kemudian berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepada mereka. Setelah berjalan beberapa hari, dan mereka sudah mendekati Makkah, kaum Hudzail memergoki dan segera mengepung dengan ketat.

“Kalian tidak akan mampu melawan kami,” kata mereka. “Kami tidak akan membunuh jika kalian mau menyerah.” Dalam situai yang terdesak seperti itu, keenam sahabat Rasul itu saling berpandangan, seolah bermusyawarah, sikap apa yang harus diambil segera.

“Aku tidak dapat mempercayai janji orang-orang musyrik itu,” kata ‘Ashim. Kemudian diingatkannya sumpah Sulafah. Ya, rupanya sumpah tersebut sampai juga ke telinga ‘Ashim. Lalu dia menghunus pedangnya sambil berdoa, “Ya Allah, aku memelihara agama-Mu dan bertempur karenanya. Maka lindungilah daging dan tulangku, jangan biarkan seorang jua pun musuh-musuh-Mu menjamahnya.”

Kemudian ia maju menyerang pengepungannya, diikuti dua orang kawannya. Mereka bertiga bertempur mati-matian hingga akhirnya roboh dan tewas satu per satu. Sedangkan yang tiga lainnya menyerah sebagai tawanan. Namun, orang-orang Hudzail itu pun tak membiarkan mereka hidup.

Ketika mengetahui bahwa salah seorang korbannya adalah ‘Ashim bin Tsabit, orang-orang Hudzail itu sangat bergembira, membayangkan hadiah besar yang akan mereka terima dari Sulafah. Karena terlalu girangnya, mereka bertindak tidak hati-hati. 

Setelah menyamarkan tempat pertempuran itu, mereka segera melapor kepada Sulafah dan menagih janjinya. Namun, Sulafah juga tidak segera mempercayai laporan itu.
“Mana buktinya?” Sulafah bertanya.

Tentu saja mereka tidak dapat membuktikan, karena jasad ‘Ashim masih mereka sembunyikan di tempat kejadian. Mereka lalu berjanji akan membawanya keesokan harinya.

Di luar dugaan, hal itu segera tersiar kepada orang-orang Quraisy. Mereka tidak tinggal diam, dan saling berlomba untuk menyogok kaum Hudzail dengan hadiah-hadiah yang menarik. Mereka juga berebut batok kepala ‘Ashim.

Untuk menyerahkan batok kepala ‘Ashim kepada Sulafah, orang-orang Hudzail ini kembali ke tempat kejadian dan ingin mengambil mayat ‘Ashim. Namun, begitu sampai di sana, mereka menghadapi peristiwa aneh. 

Sekelompok binatang serangga tiba-tiba datang menyerang, menggigit muka, mata, kening, dan sekujur badan mereka, seolah mengusir mereka agar tidak dapat mendekati jenazah ‘Ashim. Usaha itu dilakukan berkali-kali tapi selalu gagal.

“Sialan betul seranga jahanam itu,” kata pemimpin orang-orang Hudzail itu sengit. “Kita tunggu sampai malam, siapa tahu serangga itu akan pergi bersama datangnya gelap.”

Dengan bersunggut-sunggut karena letih dan lapar, dan sumpah serapah yang tidak kunjung henti, mereka duduk menanti hingga malam menjelang. Tapi, setelah senja datang dan alam berselimut malam, awan tebal hitam menutupi langit.

Kilat dan petir sambung-menyambung, diikuti guyuran air hujan yang laksana ditumpahkan dari langit. Belum pernah terjadi hujan selebat itu sepanjang mereka tahu.

Hati orang-orang Hudzail menjadi kian kecut. Air hujan itu dengan cepat menggelontor dari tempat ketinggian, menutup sungai dan permukaan lembah. Banjir pun tak terelakkan. Melanda segala yang ada, termasuk tempat disembunyikannya mayat ‘Ashim.

Setelah subuh tiba, mereka bangkit dan mencari tubuh ‘Ashim di semua tempat. Namun, usaha mereka sia-sia, bahkan mereka tidak menemukan bekas-bekasnya. Banjir telah menghanyutkan jasad ‘Ashim dan teman-temannya jauh sekali. Hilang, tak diketahui ada di mana.

Ya, Allah Ta’ala mendengar doa ‘Ashim bin Tsabit. Dia melindungi mayat ‘Ashim yang suci, sesuai dengan permintaannya, “Jangan sampai dijamah oleh tangan-tangan kotor orang-orang musyrik.” Dan Dia memelihara batok kepala ‘Ashim yang mulia, agar tidak dijadikan tempat minum khamar oleh Sulafah. Sungguh Allah Maha Menepati Janji.

Nabi SAW bersabda, “Allah melarang kamu bersumpah atas nama bapakmu. Siapa yang hendak bersumpah, hendaklah bersumpah dengan nama Allah.” (HR. Bukhari)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar