Jumat, 12 November 2010

Ukasyah

Hasrat Mencium Stempel Kenabian.
Sahabat yang satu ini memang lihai. Untuk bisa melihat punggung dan mencium stempel kenabian, dia berpura-pura menagih “piutang” berupa pukulan di punggung kepada Rasulullah.

“Siapa di antara kalian yang pernah berpiutang kepadaku, apakah piutang harta atau yang lain?” Kalimat itu meluncur dari lisan Baginda Nabi Muhammad seusai beliau mengimami shalat Ashar kepada para jamaah dan sahabat. Tentu saja kata-kata itu sangat mengagetkan mereka. Namun tidak ada yang menjawab.

“Atau barangkali di antara kalian ada yang merasa terlukai olehku, baik luka badan maupun luka hati?” Beliau melanjutkan ucapannya. “Tagihlah sekarang juga. Aku ingin melunasi segala utangku, termasuk utang pukulan badan, dari kalian, karena hari ini aku mampu membayarnya. 

Ini aku minta kepada kalian karena kelak aku tak bakal sanggup menghadapi pertanyaan Allah di hari kiamat. Tagihlah sekarang juga, aku akan ikhlas membayarnya, termasuk yang merasa tersakiti oleh perbuatanku.”

Siang itu Rasulullah sengaja minta para sahabat berkumpul. Namun, pertanyaan itu justru terasa aneh di telinga dan hati mereka sehingga semuanya terdiam seribu bahasa. Masjid terasa lengang meski disesaki jamaah. Dan agaknya Baginda Rasul sengaja membiarkan hal itu agar ucapan beliau bisa dicerna para jamaah dengan baik. 

Namun, apa yang mesti dijawab dengan pertanyaan beliau, jangankan memberi pinjaman kepada beliau, asalkan beliau bersedia meminta sesuatu apa, mereka menganggap hal itu sebagai kehormatan luar biasa. Akibatnya para jamaah merasa terbius dan tak mampu membuka mulut hanya untuk sekedar mengiyakan atau menolak.

Setelah berlangsung agak lama, tiba-tiba seseorang mengancungkan tangan, “Hamba Ukasyah, ya Rasul, ingin menagih utang kepada Baginda .”

Seketika ucapan itu mengagetkan seluruh hadirin, tapi tidak demikian dengan Baginda Nabi, beliau bertanya, “Utang uang, atau…?”

“Bukan ya Rasul, hamba ingin menagih pukulan kepada Tuan. Hamba masih ingat, Tuan pernah menyakiti diri hamba. Kalau memang itu yang Tuan maksudkan, hamba akan membalas memukul Tuan,” kata Ukasyah.

“Baiklah, Ukasyah, tapi apa yang pernah kau alami dengan perbuatanku?” Baginda Nabi balik bertanya.
Belum sempat Ukasyah menjawab pertanyaan itu, Abubakar dan Umar berdiri serempak. 

Dengan wajah membara, Umar, yang temperamental, langsung menghardik Ukasyah “Ukasyah, jaga mulutmu kalau tidak ingin aku pecahkan kepalamu. Lancang benar kamu berkata seperti itu kepada Baginda Nabi.”

Namun Rasulullah segera menengahi. “Sabar, sabar, sahabatku, duduklah dan biarkan Ukasyah berkata jujur.”
Lalu Nabi memalingkan muka beliau kepada Ukasyah. “Apakah yang pernah aku lakukan pada dirimu. Katakan yang sebenarnya, tidak usah takut.”

Meski dengan nada ketakutan, Ukasyah berkata, “Pada saat Perang Badar, hamba berkuda berjalan di samping Tuan, tiba-tiba tongkat Tuan menyentuh badan hamba dan melukai punggung hamba…”

Sampai di situ, Ali bin Abi Thalib tiba-tiba menimpali. “Pantaskah kamu menagih pukulan seperti itu terhadap Rasulullah, yang selama ini kita hormati? Toh, hal itu tidak beliau sengaja.”

“Tenanglah Ali,” kata Baginda Nabi. “Marilah kita dengarkan apa pengakuannya. Aku ikhlas menerima permintaannya kalau memang hal itu pernah aku lakukan terhadap dirinya.” Kemudian beliau mempersilakan Ukasyah melanjutkan kalimatnya.

“Ya, sejujurnya begitulah pengalaman hamba. Oleh karena itu, sesuai dengan ucapan Tuan di awal pertemuan ini, hamba ingin menagih janji Tuan tadi.”

“Kalau memang demikian, silakan kamu ke depan dan pukullah punggungku ini,” jawab Nabi sambil menyediakan punggungnya.

Kepada Bilal bin Rabah, Nabi memerintahkan agar menyediakan tongkat yang pernah melukai punggung Ukasyah, “Silakan, Ukasyah, pukullah punggungku ini,” kata Nabi.

Melihat setuasi semacam itu, para sahabat menahan geram. Ada yang menutup mukanya, tapi ada juga yang melotot ingin membunuh Ukasyah, yang dinilai lancang itu.

Tapi Ukasyah justu belum puas. “Ketika badan hamba terpukul oleh tongkat Tuan, hamba tidak mengenakan baju. Karena itu Tuan harus membuka baju juga sekarang,” katanya.

Ucapan Ukasyah itu terasa kurang ajar di kuping Hasan dan Husain, cucu Baginda Nabi. Sebagai ungkapan kesalnya, mereka berdua,yang berada tidak jauh dari kakeknya itu, serempak berdiri.

Namun apa reaksi Nabi? “Sabar cucuku, biarkan dia menggunakan haknya.”
Rasulullah kemudian membuka baju, dan tampaklah kulit yang putih berkilau pada punggungnya. Kepada Ukasyah beliau berkata, “Pukullah segera, wahai Ukasyah.”

Namun, Ukasyah tidak segera memenuni permintaan itu. Diperhatikannya punggung Nabi. Lalu dengan cepat diciumnya stempel kenabian yang berada di punggung Rasulullah. Sebenarnya itu tujuannya, karena tidak semua orang bisa melihat dan mencium stempel kenabian itu.

Setelah puas melakukan itu, tiba-tiba Ukasyah bersimpuh dan menangis, “Wahai Rasulullah, junjungan kami, tidak sekali-kali hamba bermaksud memukul Tuan. Sudah tentu perbuatan demikian merupakan perbuatan yang tidak beradab. 

Hal itu tidak pernah terbesit dalam hati hamba. Maafkanlah hamba, ya Rasulullah, karena tujuan hamba hanya ingin mencium stempel kenabian dan melihat punggung Tuan yang demikian halus dan berkilau serta baunya yang wangi. Sekali lagi hamba mohon maaf atas kelancangan ini.”

Ukasyah mengakhiri kata-katanya, namun tangisnya belum juga reda. Suasana hati yang demikian juga terasa di dada seluruh hadirin.

“Tenanglah, Ukasyah,” kata Nabi meredakan suasana. “Kamu adalah sahabatku yang baik.”
Sejak itu para sahabat merasa lega dan memandang Ukasyah dengan hati terharu. 

Beberapa tahun kemudian Nabi wafat dengan tenang di Madinah.


1 komentar:

  1. Subhanallah...
    adakah yang tau bunyi dari stempel kenabiah tersebut...???

    BalasHapus