Jumat, 12 November 2010

Hamzah, Paman Nabi

Mengetahui bahwa kemenakannya dianiaya, Singa Gurun itu marah. Seandainya Muhammad itu orang lain, atau unta yang tersesat dari pegunungan terpencil, ia pun pasti akan murka mendengar perbuatan Abu-Jahal yang sewenang-wenang itu.

Walaupun, menurut silsilah Hamzah adalah seorang paman, usia-nya tidak jauh berbeda dengan Muhammad SAW. Ia paman paling muda. Di kalangan para jawara Quraisy, ia termasuk seorang jagoan yang paling ditakuti, selain Umar bin Khaththab. 

Ia bahkan diunggulkan untuk mengimbangi sejumlah pemuda Quraisy yang telah menjadi pemeluk agama Islam. Dengan Hamzah masih berada di kubu kaum musyrikin, Abu Jahal merasa kuat dan berani malang-melintang, mengejek, dan menyiksa bekas anak buahnya yang telah menyeberang sebagai pengikut Muhammad.

Namun, Hamzah adalah Hamzah, putra Abdul Muthalib. Meskipun dengan ayah Muhammad ia tidak seibu, karena dilahirkan dari istri Abdul Muthalib yang bernama Halah, sedangkan Abdullah dari istri tua yang bernama Fatimah, rasa kekeluargaannya dengan Muhammad sangat melekat. 

Apalagi ia bukan saja seorang paman, melainkan juga saudara sepersusuan, sebab waktu kecilnya pernah menjadi anak asuh Tsuwaibah dn Halimatus Sa’diyah, yang juga menyusui Muhammad semasa bayinya.

Dari itu, bisa dibayangkan, alangkah berangnya Hamzah ketika Salma, sahaya Shafiyah binti Abdul Muthalib, datang kepadanya seraya berkata terpatah-patah, “Wahai Hamzah, Abu Amarah. Gelarmu adalah Biang Kemarahan. Maka engkau pasti amat murka bila menyaksikan bagaimana si terkutuk Abu Jahal, Biang Kebodohan itu, menyiksa kemenakanmu dengan semena-mena.”

Muka Hamzah memerah. Sebab sudah sering didengarnya keganasan Abu Jahal terhadap kemenakannya itu. “Apakah kamu menyaksikan sendiri Abu Jahal menganiaya Muhammad?”

Budak perempuan itu mengangguk. “Demi Allah, tidak ada perbuatan lebih buruk daripada tindakan Abu Jahal kepada Muhammad pagi tadi.”

“Kurang ajar!” teriak Hamzah, tanpa berpikir bahwa ia dan Abu Jahal sebetulnya berada dalam satu kubu, sedangkan Muhammad berdiri di kubu yang lain.
“Ceritakan, apa yang telah dilakukan Abu Jahal kepada Muhammad.”

Salma lantas menuturkan, “Saat itu Muhammad sedang duduk sendirian di kaki Bukit Shafa. Tiba-tiba Abul Hakam, si Abu Jahal itu, mendatanginya dan memaki-maki dengan cacian yang kotor. Muhammad cuma diam, tidak membalas sepatah pun. 

Abu Jahal tambah naik pitam. Ia meraup pasir dan menaburkannya ke wajah Muhammad. Kemenakan engkau itu masih bergeming. Abu Jahal kian menjadi-jadi. Ia mengambil tahi binatang dan melemparkannya kepada Muhammad.

Karena yang dirudha-paksa, dianiaya, itu belum juga menimpalinya dengan suatu tindakan, Abu Jahal mengangkat dan membanting Muhammad, lalu menginjak-injak kepalanya. Sungguh, saya tidak sampai hati melihatnya lebih lama. 

Andai kata saya seorang lelaki, walaupun umpamanya saya bukan pengikut Muhammad, pasti Abu Jahal sudah saya seret dan saya lakukan kepadanya seperti yang telah dilakukannya atas diri Muhammad. Oh, laknat Allah kepada Abu Jahal.”

Salma kemudian menangis tersedu-sedu, membuat napas Hamzah berdengus-dengus. Ia tidak peduli lagi siapa Abul Hakam dan siapa Muhammad. Kalau begini, tidak ada golonganku dan golonganmu, partaiku dan partaimu.

Sebab yang mencuat adalah hati nurani dan rasa kemanusiaan yang disakiti. Jangankan Muhammad, keluarganya sendiri. Seandainya Muhammad itu orang lain, atau unta yang tersesat dari pegunungan terpencil, siapa pun pasti akan murka mendengar perbuatan Abul Hakam yang sewenang-wenang itu.

Maka Hamzah segera berdiri, sambil mengenggam pangkal pedangnya, dan menyelempangkan anak panah serta busurnya. Dengan langkah panjang-panjang ia bergegas menuju Ka’bah. Ia menduga, Abu Jahal pasti sedang membual di sana. Si Biang Kebodohan itu tengah dikerumuni sejumlah konconya. Mereka adalah begundal-begundal yang selalu mengiyakan hampir semua ucapan Abu Jahal.

Tanpa menyampaikan salam seperti galib-Nya, Hamzah langsung menghardik Abu Jahal, “Hai, Cecurut! Betulkah kamu baru saja mencerca Muhammad dan menyiksanya?”

Abu Jahal menggigil mencium kemarahan Hamzah yang meluap. Seluruh anak buahnya juga tidak berani berkutik. Mereka sadar, yang dapat meladeni keandalan Hamzah dalam mengumbar kemarahan hanya Umar bin Khaththab. Yang lain-lainnya cuma semacam tikus berhadapan dengan serigala.

“Katakan sejujurnya. Sebab, kalau kau berani berbuat begitu kepada Muhammad, berarti berani pula menantang Hamzah. Ayo, katakan!” teriak Hamzah sambil menusukkan ujung anak panahnya ke leher Abu Jahal. Pemimpin kaum musyrikin itu tambah kecut.

Dengan sisa-sisa keberaniannya, akhirnya Abu Jahal menjawab lirih. “Sabar sebentar, wahai Biang Kemarahan. Kemenakan engkau itu sudah keterlaluan. Ia membodoh-bodohkan para pinisepuh kita. 

Ia menyatakan bahwa para leluhur kita telah tersesat, menyembah berhala-berhala. Ia telah menyebarkan agama baru yang menyebabkan masyarakat Quraisy terpecah-belah. Bukankah seharusnya engkau pun berbuat yang sama kepada Muhammad?”

Hamzah mendengus, “Hemm, aku sendiri bahkan mempunyai pikiran yang sejalan dengan Muhammad. Kalian sangat bodoh, menyembah-nyembah patung yang tidak punya daya apa-apa. Saksikanlah, sejak sekarang aku berikrar, tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad itu memang benar utusan Allah.”
Semua yang mendengar pernyataan itu mendadak terbelalak. 

Mereka tidak menyangka Hamzah akan bersikap sejauh itu. Mereka hendak mencabut pedang dan mengeroyok Hamzah, tetapi Singa Gurun itu menusukkan mata anak panahnya ke leher Abu Jahal sampai darahnya mengucur deras.

Salah seorang kamerad Abu Jahal masih ada yang berani bersuara, “Hamzah, engkau telah tersihir oleh kemenakan engkau. Sungguh lancang. Engkau berani meninggalkan agama nenek moyang engkau. Bakal terkutuk engkau!”

“Kutuklah aku sesukamu. Aku tidak takut. Yang ku-takuti sekarang adalah laknat Allah,” jawab Hamzah, dengan suara lebih lantang dan sikap makin garang. “Hayo, siapa berani melarang aku mengikuti agama Muhammad, siapkan kepandaian dan senjatamu sebelum kubantai menjadi berkeping-keping.”

Tidak ada yang berani bercuit lagi. Abu Jahal menyuruh mereka diam. Lalu, tanpa menoleh, mereka meninggalkan Ka’bah setelah Hamzah melepas anak panahnya dari leher Abu Jahal. Darah masih menetes dari luka-luka di leher Abu Jahal.

Darah itu adalah darah aniayanya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang menggungah hati nurai Hamzah sehingga, hikmahnya, ia justru menginsyafi kedunguannya selama ini, telah menaati agama yang keliru dan sesat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar